Selasa, 31 Juli 2012

X-Poems: Puisi-puisi Syaidatul Fitria Malini



IZINKAN AKU MENULIS PUISI UNTUKMU

Aku bukan penyair
Melukis wajah dalam sajak
Memainkan diksi di ujung mata
Tapi izinkan aku menulis puisi
Walau kata sederhana

Lewat puisi aku mengurai wajahmu
Melukis mata dengan rima sempurna
Menyusun abjad namamu
menjadi mimpi paling hakiki
Menghitung langkahmu
menjadi tasbih memuja Tuhan yang sahih

Izinkan aku memilihmu menjadi baris
Menari bersama kata
Memuja bersama cinta
Tertawa walau duka menjelma
Mohon izinkan aku memuja
meski sederhana


Lombok Timur, Juni 2012

DUA MALAM DI KAWO
Segala firman bersuara sudut langit
Mencipta puisi di ladang imaji
Aku menapak jejak pada angin dulu
Menetap dan memuja sabda orang tua

Nafasku menemui asal
Mencium tanah kelahiran
Menemui istana dan malaikat
Segenap penghuni syurga

Sayang,
hanya dua malam aku mencium
hanya dua malam aku mengenang
hanya dua malam segala hilang

Namun aroma angin -mimpi lama-
Segala kenangan takkan hilang
Sebab rindu membawaku pulang


Lombok Tengah, 2012

KUINGIN KAU HADIR DALAM SAJAKKU

Angin mendekap
Rubuh pada subuh
menjadi sajak-sajak keruh
Kuingin kau hadir dalam sajak
Menari mengiring baris
Berdendang dengan lantunan bait
Bernyanyi mengurai diksi
Sampai mimpi menjelma puisi
Kita tetap menyatu

Kata memenuhi ruang khayal
Kutanam di lumpur darah
Tapi, masih aku mengenang
Sebait kutulis pada senja
Tentang janji tentang cinta

lidahku mengeja kata-kata
tentang detak jantung
Membaca langkahmu
tertanam di namaku

Jangan sesali jika namamu kutulis dalam sajak
Ku ingin kau hadir mengukir kenangan ribuan jejak

Lombok, 2012

SYAIDATUL FITRIA MALINI. Lahir di Kawo, pada tanggal 22 maret 1993. Mahasiswi STKIP Hamzanwadi Selong Lombok Timur, mengambil jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Aktif di sanggar Narariawani. Beberapa karyanya dimuat dibuletin lokal, Harian Metro Riau dan Radar Surabaya. Sekarang bermukim di Lombok Timur.

X-Poems: Puisi-puisi Oscar Amran

 
KASIH SEMATA WAYANG

Sepanjang nafasku masih bertasbih dalam api cinta
tak kuhirau bayangan lain menduakan cintaMu
menerjang dalam badai yang anginnya meninabobokkan
mengombang rindu dan mengorbankan harkat cinta
merayu atas nama segalanya, kenikmatan duniawi utama

Kekasih, jangan tinggalkan walau sekejap detak nadi
dan nafas bertarik mundur sesaat
dengan cintaMu yang kudamba
masih belum sempurna getar rindu mendera cinta
yang ku inginkan memandikannya dengan embun surgaMu
ya Latif, ya Latif !
dalam tasbih cintaku
kurendam kerasnya api cinta dunia.

(bogor, 28/7/12)


DALAM LELAP DI MALAM KE LIMA

membiarkan mata terpejam mencari lelapku malam ini
dalam tidurku yang hanya sekejap
tiba-tiba aku dihadapkan bayangan berselimut mengerang-erang
memintaku mengambil sebuah buku di atas meja di sudut kamar
bertuliskan aksara indah yang tidak bisa dimengerti maknanya
lenguhan panjang dan deheman membuatku tersentak
tangan-tangan dengan jemari panjangnya melentik
menyisiri pinggir ranjang merayap perlahan, mendebarkan jiwa
hendak mencengkram tubuh gemetarku
bayangan itu berdiri,
lalu mengambil pedang panjang; mengibaskan dan meluncurkan ke uluhatiku
aku terpekik; oouuch!!
bersama pedang bayangan itu menelusup tubuhku
tanpa bekas darah, menceraiberai isi dada,
menembus punggungku rasa terbakar panas dan sakit luar biasa
erangpun bertalu-talu, seperti nyanyian kelompok manusia batu
berguling, merentak, mengapai-gapai dan berteriak kegilaan
hutan lebat lembah kematian; menyergap
kusebut namaMu; berulang meratap panjang
melerai sengat bara yang melepuh pori-poriku
aku terbangun gegap; nanar menatap langit kamar,
hendak bertanya; aku menyelusuh di dinihari
dalam penerawangan dengan buku itu di tangan

(25/7/12; 05 Ramadhan 1433) Edit : 30/7/2012

DALAM SEBUAH KENANG 3

saat hijrahku melalang langkah
terbawa arung kembara panjang
dalam persinggahan di kota ini
sebuah kenang menyeruak tanya
masih ingatkah kau?
pada pincuran bambu di belakang rumah kita
atau pada potretku yang pernah engkau lempar dengan kayu?
bila ingat itu kawan,
aku tersenyum mengenangnya

dan bila kenang itu melintas kembali
dapatkah mengalirkannya ke hulu kata?
sedang menghilirkannya tidaklah mudah!
tiada kata, tiada makna
bukan apa-apa!

Jkt, Juli 1997


Oscar Amran yang dulu memiliki nama Pena Oscar Adri. Meninggalkan sastra selama 20 tahun. Jumlah Puisi sangat luarbiasa, dan andai dibukukan tak kurang dari 5 Kumpulan Puisi. Nanum kurangnya niat memelihara karya pribadi, semua tulisan tersebut raib tanpa jejak. Juni 2012 adalah awal semangatnya nyala kembali. Bak api suci, tema Ketuhanan (Islam) pun kerap diangkat. Dan 3 Puisi di atas diculik langsung oleh Muhammad Asqalani eNeSTe, leleki yang memanggilnya Ayah.

X-Poems: Puisi-puisi Nurul Ilmi El-Banna


HomPimPaa

(Balada sang Bocah)

Seikat permainan teka-teki tangan
Masa kecil berteman dekil 
Sampai nanti, berganti masa cinta memanggil
Merekalah, bocah yang melintang antara pagi dan petang
Menyemut madu bagai laron-laron yang beterbangan

--HomPimPaa,,,,
Terekam di pucuk mata yang kini rabun meraba
Masa kecil berlarian
Berputar-putar dalam otak aus
Bagai gasing waktu di mainkan
Singgah berlalu,
Membaca kenangan di ranting-ranting yang telah kering

--HomPimPaa,,,,
Masih terus memanggil-manggil diri
Berputar dan berganti
Pada masa bersarung lugu
Mengadu alif di langit guru nun tinggi

--HomPimPaa
Keramat jum’at menjadi tamat
Bila ayat-ayat suci telah habis dilumat
Bersama gema suara yang sering lelap sesaat

Bila pagi datanglah bertandang
Bocah-bocah menembang ayat suci
Melafad dzikir dalam harfiah kata
Embun kembali mengikat, HomPimPaa!
Dalam deretan kabut yang mulai memanjang
Sang bocah menjarah madu ilmu
Di kelas bobrok berbangku reot

Lorong-lorong panjang masih membentang
HomPimPaa,,,
Marilah dimainkan!
Sampai sang bocah membalik masa depan
Dalam riang tawanya memecah langit malam
Melahirkan purnama dari rahim gelap yang pengap
Sampai kematian memisahkannya di ujung fajar

Dunia Kecil, 09 Mei 2012


Metafor Alam Yang Karam

Jauh di seberang, terbentang sungai-sungai panjang
Tapi keruh, bau busuk menjadi jalang
Sampah-sampah berkeliaran
Berkelindan di sarang alam yang kelam

Di sini, bukit-bukit bahkan diam
Danau kering kerontang
Sawah dan ladang membentang luas tapi gersang
Gunung terus menjulang tinggi
Meninggalkan pohon-pohon berdaun kering
Lalu gugur, mati di telan noktah-noktah angkuh penghuninya

Laut luas membalut
Menerjemah debur ombak dan arus yang kini tirus
Ikan-ikan yang dulu berkeliaran kini hilang di telan bayang-bayang
Tak ada lagi panen nelayan di rimba sampan

Alam kita, kini karam
Disapu ombak ke dasar laut yang dalam
Hanya tinggal hikayat dan dongeng untuk warisan anak cucu tersayang
Di mana kau tanam cinta untuk alam?

Yogyakarta, 29 Juni 2012

Jejak perjalanan

Jejak kita pernah hinggap
Di sepanjang pergantian musim bersimpang
Begitu lincah melangkah
Trotoar yang kini lengang tanpa suara
Habis terkuras masa


Pada akhirnya kita pun saling menyakiti
Tanpa berpikir pernah saling mengasihi

Lesehan toko itu pernah bersaksi
Kehidupan sebuah cerita bertunas tawa
Sekarang, mati
Kering,,,
Dihanyut hari, satu persatu hilang
Tergesa pulang  tengah malam

Tiba menyebrang jalan, masih kubaca jejakmu
Dari duka terus menganga jalan derita
Perjalanan kita seolah antrian tak kunjung usai
Membelenggu rodaku tak kunjung sampai

Madura-Jogja, 12 Juni 2012 .

Nurul Ilmi El-Banna, Beralamat di Desa Banuaju Timur, Kecamatan Batang-Batang, Sumenep. Mulai belajar menulis sejak menjadi Pimred Mading “Bianglala” di sekolahnya MTs Taufiqurrahman. Lalu, pindah ke Pondok Pesantren Annuqayah dan mengecap manisnya ilmu di SMA 3 Annuqayah.
Karyanya pernah di muat di Majalah Teratai SMA 3 Annuqayah, Blog Madaris Tiga Annuqayah, Antologi Bersama 7 Dalam Memoribilia (2011) dan Buletin Pena Kampus Unitri Malang dan Radar Surabaya (Online). Pernah menjadi juara I dalam Lomba Menulis Cerpen dan Puisi oleh KKN UGM Yogyakarta di Banuaju Timur (2006). Suka menulis sejak kecil hingga kini dan semoga selamanya. Pernah nyasar (nyantri sebentar) di sebuah pesantren di Jawa Timur. Kini tinggal dan belajar di Yogyakarta. Dapat ditemukan di alamar chechel.bayuayu@gmail.com www.werowe.blogspot.com dan Facebook.

Kamis, 26 Juli 2012

X-Poems: Puisi-puisi Makmur HM


 
Ke Bioskop

Sepitak-sepitak
Aku menghitung kepala
Diatas detak
Setelah muak
Kujitak saja almanak
Malah aku yang terhenyak
Selanjutnya
Sepijak-sepijak
Aku meninggalkan waktu
Yang mulai retak
Berkunjung ke bioskop
Dipinggir benak
Nonton maut sedang bersajak

malampanjang duapuluh empat
satu:tigapuluh empat AM


Gagak Hitam
Malam, gagak hitam mengumandangkan azan
Bersahut-sahutan mengundang kematian
Sedang persiapanku belum mapan
Masih banyak sajak belum kubajak
Masih banyak tanah belum kupijak
Bantulah aku dulu, tuan
Mewarnai malam agar tak melulu berwarna hitam
Merah barangkali akan terlihat lebih bergairah
Seperti darah yang tumpah di pagi-pagi amarah
Di teras-teras gundah

rutemalam, tigabelas maret duaribu duabelas
duabelas:empatpuluh dua AM


Makmur HM
Lahir di desa kecil Kabupaten Pelalawan-Riau bernama Rawang Sari pada 2 Mei 1990.
Menulis puisi sejak duduk di bangku Aliyah Ponpes Al-Munawwarah Pekanbaru
Puisi-puisinya pernah singgah di beberapa media cetak dan online serta tergabung dalam beberapa antologi bersama.
Segera menerbitkan antologi ‘Aku Puisi’ dan antologi puisi mini ‘Kosakata’ episode 1 dan 2
Saat ini masih tercatat sebagai mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Abdurrab Pekanbaru dan bekerja sebagai Designer Tata Letak di Harian Metro Riau.
 
Template Design By:
SkinCorner