Jumat, 31 Mei 2013

X-Poems: Puisi-puisi Sna Aisyah, Jumat 31 Mei 2013




















Sesakit tanya

Tidakkah kau lihat
Langkah kakinya
Tidakkah kau dengar
Kelontang kalengnya
Dia berjalan dan  hidup dalam dunia kalengnya
Tak disentuh hidup Tak dilihat dunia
Dia tak inginkan hidupmu
Dia mau hidupnya
Maka
Adakah tangan kan sentuh hidupnya?
Adakah mata kan lihat dunianya?
Biarkan dia rasakan hidupnya benar
Biarkan dia miliki hidupnya
Biarkan ia rasuki alamnya
Biarkan kau dan dia hidup
Dalam satu dunia


Enyah

Jangan kau sentuh duniaku
Dimana rasa bersatu hanya dengan nada
Jangan kau ketuk tuk satu hentak
Dimana seribu dinding kapas menghalang padanya
Dentuman mulai lagi bergerak
Beranjak memuat dalam suara
Ketika ada banyak guruh
Kau tau apa akan nada itu??!
Tak tercapai satu not pun
Dalam pendengaranmu!


Panorama bunga

Aku takkan meninggalkan bunga itu
Aku takkkan biarkan udara berhenti
Mengantarkan sejuta wanginya
Aku takkkan menghitung berapa sudah
Kelopaknya jatuh kelopaknya mekar
Yang tampak hanyalah nyata dalam detiknya
Aku takkkan berpaling pada bentuk
Atau,Berpaling pada warnanya?
Hanya pada indahnya


Sna Aisyah (Siti Nur Aisyah), Mahasiswi FKIP Bahasa dan Sastra Indonesia - Universitas Riau (UNRI). Belajar mendalami puisi di Communty Pena Terbang (COMPETER). Ia beberapa kali mengikuti lomba baca puisi. Tinggal di Tenayan Raya, Pekanbaru.




Minggu, 19 Mei 2013

X-Poems: Puisi-puisi Jhody M. Adrowi, Senin 20 Mei 2013




KAU YANG BERLAWAT DI TEPI ALIR DARAHKU


Dalam genggam yang aku bawa lewat sketsa rasa. Aku berdawai dalam gumpal dan kehangatan yang tersisa di tepi langit-langit wajahmu. Kau bukan segala dalam alir darahku. Namun kau aura indah yang ingin ku lawat dalam jelma undak berundak cipta hangat kasihku.
Biarlah kita beradu randu dalam candu di kujur asmara. Kau pun merekah dengan segala gontai yang landai jelma tangkai rangkai asihmu di istina batinku.
Kau berlari
Kau diam
Tak dapat aku tebak kujur nanar yang dulu kau sejarahkan dalam ceritaku di wujud alamat hijaiyahku. Dan akupun seakan diam di telaga yang ku retakkan di hulu lalang sembab asaku.
Dimanakah?
Pencarianku di tapak langkah di sekian malam dan hari yang kau setubuhi dengan aroma melati yang kau gantung di dasar pintu hatimu. Hatimu yang merundung alun jelma lentik kalimatmu yang menyipta relief  dan Nun dalam rahasia pencipta.
Kini dapat ku semat kata-kata, dalam rahasia dan cahaya yang  ku sulut dari keminyan darahku. Kau adalah sumbu terakhir yang akan terus halalkan kesakralan cinta dalam tabiat yang te-restu.

Somber Sere, Sumenep. 10/08/11.



DALAM LABIRIN YANG KAU SULAM SEBAGAI PELAMINAN
;laman cerita bersama putri berparas jilbab biru.


Diselasak sepiku pada sepetak negeri disunting purnama, temui kau yang sedang bernyanyi di padang rerumpun rumput liar yang tumbuh dalam alir darahku. Pesonamu, bacakan sejumlah sajak dan kerinduan.
 Kau lari dari petak itu.
Lalu kau lambaikan kerut dahimu dan berhenti tuk menatap senja. Sedang aku hidup dalam ayun do’aku melamar sulam tasbih di langit hatimu. Aku merengkuk disini, alaskan diriku dalam kujur dan halu lirih ucap sendu takjubku dalam rintik air matamu, kala itu.
Hari yang selanjutnya:
Kau kembali berkabar tanpa tahu waktu yang dapat kita terka, namun senja telah kau lamar dalam istijabahnya, kembalikan hidup dari nanar yang sejak kemarin melarung parau rengkuh angkuh di dasar kelam laman almanak kita.
Lalu kau memintaku, menebang sekian pohon galau itu. Memahatnya dalam sejarah yang bertapa di dasar pusara. Tak lagi hidup dalam akar yang beruzlah pada pahat ukir bumi.
Kau mulai melamarku, meminangku tuk cipta ribuan rasa dalam danau hati. Menyiptamu getar pelaminan, dan ulurkan pandangan mata ini di pucuk alisku dan alismu yang melengkung sabit.
Lalu kau bernyanyi, dan kibarkan bendera kesucian bersama lirih rukukmu dalam rukukku.

Somber Sere, Sumenep.2011.



MATA KITA ADALAH CINTA


Bila kau tak disini, aku mulai mencarimu dengan mataku, yang mulai kau semedikan dari lengkung alismu yang nanarkan liku albarot di tepi riak patri takbir rayumu. Lawat batinku dalam teduh pohon dahagamu yang kau ceritakan di balik sejarahmu. Dan inilah tangkai basah yang mulai kita cipta pena-pena.
Thawaf purnama memuja baris alismu
Tadah runduk langit eja sekian lirih, dan mulai tuliskan aksara-aksara padu rindu
Yang jelmakan musyhaf seka damai ruang cinta pengantin kita

Somber Sere, Sumenep. 2011.

Sabtu, 18 Mei 2013

X-Poems: Puisi-puisi T. Iskandar, Minggu 19 Mei 2013



Tiga Dua

Tiga mata melingkar suram
Dua nyawaku berlenggok belum berkembang
“ mampukah Dua nyawa dan tiga mata membayar nafas esok hari”
Aku tunggu
Tunggu aku,


Gadis Sadis

Gadis sadis menghina kubur ibumu
Menikam ayahmu, mengoyak batinmu
Mencabik-cabik dagingmu.
Memotong tulang belulang mereka
Senyum bengisnya merekah



Kota Terbit

Kota terbit, aku titipkan selembar makna
Makna purnama diatas roh masa, bila tiada menggurauiku tiada sempat mengais sudra
Ruang sempit pelarian massa, inilah buku-buku rindu yang membeku.


T. Iskandar, lahir di Pelalawan, 24 Desember 1991. Mahasiswa Bahasa Indonesia FKIP UIR sekaligus sedang aktif di COMPETER ( Comunitas Pena Terbang).

Kamis, 16 Mei 2013

X-Poems: Puisi-puisi Dona Rahayu, Kamis 16 Mei 2013


 
 Lacur Bumiku
Kaulacurkan tanah bumiku, dengan harga murah
Kauobral,tanpa kaubaluti dengan sehelai benangapapun
Kaucicipi tubuh, yang kianme lolong menyesak
Mencuri wajah, dengan wajah tanpa noda
Bisu, diam dan menghening
Pelan-pelan tetap melacurinya dengan wajah tanpa dosa

Bogor 5 Maret 2013


Lidah Api

Lidah memang tidak bertulang
Tapi dia mampu membunuhmu..

mana yang ingin kaupilih??
Membunuh atau terbunuh?

lidah, lidah ini bias saja membeku
bahkan dia bisa menjadi api yang selalu siap membakarmu
kapan ingin kaupilih waktunya?
Detik ini dia bias membakarmu

Ingatkah engkau kapan terakir kali menggunakan lidahmu dengan baik?
Atau sudah lupa ya?

Kauingin menghujam jantungmu sendiri?
Tak susah payah kau mencari alat
Karena lidahmu sendiri bias membunuhmu

Ingat saat kaugunakan lidah apimu untuk menghinaku?
Aku memang dungu saat itu kawan
Aku memang rendah, hina
Bahkan aku butuh welas kasihmu saat itu.

Tapi sekarang, liatlah kawan
Lidah apimu telah membesarkan aku
Beruntung aku tak matiwaktu itu
Kini aku menyaksikan, lidahmu sendiri kian membunuhmu...

Apa aku harus tertawa???
Senja saja mengacuhkan engkau
Mungkin saja aku juga bias mengacuhkan engkau sama seperti senja
Tapi aku tak seangkuh itu

ini mawar untukmu, kausimpan saja di dalam kaus kutangmu
semoga saja itu bisa menjadi obat lidahmu


Dona Rahayu, Lahir dan besar di Riau. Bergiat di Communty Pena Terbang (COMPETER) Dunia Maya. Menikah di Pekanbaru, berbulan madu dan menetap di Jakarta.






 
Template Design By:
SkinCorner