Jumat, 28 Maret 2014

X-Poems: Puisi-puisi Delvi Adri, Jumat 28 Maret 2014

http://alixbumiartyou.blogspot.com

Secangkir Kopi

Aku selalu membayangkan kau tersenyum di hadapanku
Lalu berpikir, jika aku menjelma sebagai Tengu
dan kita dapat menikmati hening kota yang pulas

Namun waktu terasa cepat, sayang
kadang-kadang seperti berhenti dan nyaris tak ku dengar denyutnya 
Seperti Bhopal Disaster hentikan dengus nafas perempuan dan
bocah-bocah di negeri Gandhi
sementara, kau asyik berdansa di otakku

Menghirup secangkir kopi malam itu aku melihat sepasang kekasih,
tepat dimana kau dan aku, dulu
Oh, lagi-lagi kau tersenyum sayang dalam hening kota yang pulas,
pada secangkir kopi malam itu

Pekanbaru, Des 2013


Tak Ada Judul

Ada suatu masa, dimana kita mulai lelah, sayang.
Ketika terucap kalimat yang sebenarnya tak kita sukai, aku pun kau. 
Namun,
kita masih bisa saling memahami, menguatkan lalu kita pun lupa.
Ya, kita paham. Lalu untuk apa kau pertanyakan, lagi?
Bukankah pada penghujung hari, 
pada perjamuan di ujung tahun kita sudah benar-benar lupakan?
Seperti yang selalu aku kiaskan, pada percikan air saat hujan.
Ada riak, lalu tenang tak berbekas.

Desember, 2013


Tak Ada Judul (2)

Kita tak pernah tau, sayang
Tentang akhir perjalanan,
saat kita susun beberapa waktu yang lalu
Kita coba merumuskan, dan hanya bisa menerka.
Barangkali masih ada dalam memorimu
Pada pertengahan jalan, langkah kita mulai goyah
Dan kita, nyaris melepas pegangan

Ada hal yang selalu menguatkan kita
Dan kau masih ingat bukan?
Saat awal perjamuan kita, aku selalu bercerita
Ya, tentang sepasang Ceno di hadapan Andiko.

Desember, 2013


Yo Te Amo

sulit membedakan,
antara kebodohan dan ketulusan di sini,
pada sebuah cinta yang cacat

Pekanbaru, Desember 2013



Delvi Adri, Kelahiran 13 Oktober 1987. Alumnus prodi Bahasa dan Sastra Indonesia UIR. Puisi-puisinya dimuat di laman Riau Pos, Metro Riau, Medan Bisnis, Majalah Sagang, dll. Aktif mengajar di COMPETER Session 1. Bekerja sebagai wartawan di media cetak. Bermastautin di Pekanbaru. 081378982223

 

Jumat, 21 Maret 2014

X-Poems: Puisi-puisi Maulidan Rahman Siregar, Jumat 21 Maret 2014



Lelaki Pecemburu

"Bu, bolehkah aku cemburu pada rembulan terang
yang sedang digelut bintang,
dijamah cahayanya satu per satu hingga ia redup?"

"Bu, bolehkah aku cemburu pada setangkai kelopak bunga
nan harum semerbak, yang membujuk kumbang-kumbang
genit untuk datang hinggap, hingga ia layu?"

"Bu, bolehkah aku cemburu pada titik awal
                                                      hujan di awal kemarau?"
"jangan, Nak!" kata Ibu

01/03/2014


Pulang

Bu, kami pulang dari bulan
nyatanya selama ini kami salah
jauh-jauh memanjat langit; dari Bumi
yang kami semai hanya resah 
iya, Bu. kami mengaku salah
nyatanya, terang itu ada padamu, Bu.
kami temui di harimu yang kau anggap tanggal merah

17/02/2014


Pulang II

aku merantau ke Jawa
biar kau senang, biar kau bahagia
nanti, ku bawa banyak uang

nyatanya, tidak.
pagi petang ku dililit hutang.
ya, Ibu Kota tak pernah seteduh kau, Bu.
esok, aku pulang.

17/02/2014


Salam dari Bumi

selamat pagi dunia
titip salam sama akhirat, ya.
salam rindu buat Jibril hingga Malik
"selamat menunaikan tugas"

dan spesial buat Raqib Atid
"catatlah pahala kami, satu persatu hari ini, dosanya jangan"
"nanti kami taubat, Tuhan pasti ampuni"

Padang, 2/2/2014
                                     
Maulidan Rahman Siregar, lahir di Padang, 3 Februari 1991. Menulis sejak bergabung di UKM Teater Imam Bonjol Padang.  Anggota FAM wilayah Sumatera Barat. Puisinya pernah dimuat di http://theoneredaxi.com/berita-kepada-penyair.html HP: 08990854468

Jumat, 14 Maret 2014

X-Poems: Puisi-puisi Azizah Nurfitriana, Jumat 14 Maret 2014

http://say-nisa.blogspot.com


Kebun Bunga, Hampa

bang, maaf tak kusirami pagi tadi
bungabunga di kebun kita
sengajaku biarkan layu pun kering hingga kupukupu bahkan lebah sekalipun enggan menghinggapinya

kau benar, kebun ini kita bangun dengan kasih sayang dan kesabaran, tapi tidak untuk akhir-akhir ini

kau tanam bermacam bunga dengan warna dan bentuk yang beraneka pula--lainnya
dengan harapan memperindah kebun bunga kita

tidak!
kau salah,
Lihatlah, ulatulat cemburu mulai giat meracuni dedaun telinga dan mematahkan tangkai kepercayaan kita
hingga tak sedap dirasakan hati
tampak kering layu, kusam seburam hatimu,
dan demikianlah gambaran cinta kita yang tak saling memahami (lagi)

Medan Ruang Competer, 8-3-14


Berakhir


kau kenalkan aku bahagia, kau tunjukkan aku luka pula.
sama saja ujungnya ada air mata.
kembalikan saja ke awal cerita agar tiada akhirnya.

Medan Ruang Competer, 8-3-14



Monolog Perempuan Pencinta Rindu
malam masih saja berselimut awan, membuatku begitu tawan. kuputuskan untuk menetap di sini ruang kamar tempat yang aman menjabarkan segala perasaan, berteman musik selo bersenandungan

aku menghirup udara cukup lama, tenyata ruang ini menyimpan aroma bunga rampai—selalu menyebar harum sedapnya

aku mulai menekan tut demi tut keyboardku. Mengacak huruf  mengetik namamu agar kutahu sedang apa kamu. sebaris pesan singkat kuselipkan di sana, karena kutahu kau pasti membacanya. begitu kamu mengakses jendela maya. jendela yang mempertemukan kita, dan mewadahi begitu banyak cerita.
Aku melirik ke sebelah sana, sudut kanan jendela maya. Tak ada tanda-tanda lampu hijaumu menyala—kecewa
Aku mengelus dada, menyugestikan semangat untuk hatiku yang sok kuat. Pada wajahku sendiri kupaksakan senyum terulas jelas. Tanpa kusadari kamulah yang menyanderaku di ruang ini.

Waktu telah berjalan cukup lama, ingatku. Di beranda itu masih tersimpan apik emoticon lucu memungut kecewaku.
Sekali lagi kuulang lirikan singkat ke jendela, berharap hijaumu menyala dan berikan emoticon senyum paling manis yang kau punya. Lalu bertanya “Kamu sedang apa” sebagai awal dialog mesra. Dan seperti biasa kita bertukar cerita apa saja tak melulu tentang cinta.
Kaukah yang kurindukan? Tanya yang lintaslalu menghentikan jari. Tentu saja, jelasku. Akulah yang setia menyimpan rindu untukmu, merindukan tawa manjamu, juga kecemburuan yang kadang menggelitik hatiku.

dan apakah kamu juga merindukan kebersamaan kita yang mengalir sesejuk telaga? kali ini aku tak bisa segera bersuara, karena aku juga belum tahu pasti jawabnya.
Lalu aku bertanya sendiri, adakah kau juga merindukan kebersamaan kita yang menyegarkan seperti udara di taman bunga? Untuk ini aku tak berani menduga jawabnya, karena bisa saja aku salah kaprah ujungnya kecewa (lagi)
Kini aku pilih tersenyum saja, memandang fotomu di beranda maya dan semua berbalas pesan cinta di jendela maya, terlaksana pula dalam realita.  Ya. semua masih seperti biasa tak ada kata curiga untuk komitmen kisah kita, tegasku.

Medan Ruang Competer, awal Maret 2014.

                              Azizah Nurfitriana,  Mahasiswi Bahasa dan Sastra Indonesia - Universitas Negeri Medan (Unimed).  Puisi-puisinya meramaikan laman Medan Bisnis, Waspada, Analisa, Frasa dll. Tergabung dalam antologi puisi “Tifa Nusantara”. Saat ini tunak  di Komuintas Tanpa Nama (KONTAN) dan Community Pena Terbang (COMPETER) Dunia Maya dan  JPIN. Akun email : HP: 085763970512.

Jumat, 07 Maret 2014

X-Poem: Puisi-puisi R. Dianie Dasopang, Jumat 7 Maret 2014

http://ngikutonline.blogspot.com


Mengudara

Kita melompati batu kecil
Tak berani melihat batu besar.
Bersuara butuh perlahan-lahan.
Begitu indahkah alasan?
Lalu kita jadi  katak peninta batu.

Beriak mimpi menjelma oksigen dalam air yang ingin mengudara.
Meletup-letup hanya sebatas titik didih yang tak unjung teraba.
tak lepas, masih jua dikebat molekul air yang sesak menindih raga.
Kita bagai oksigen terlarut, seakan lewat jenuh.

Muasal kembali dipertanyakan. Terlempar dalam
onggok rahim kata dan tanda tanya. Batas nyata serta imaji
dikusut benang karma. Dan kita masih begini
Bermimpi mengudara.

Kim, 2011-2013


Ekuatif Burung Manusia

Reruntuh angin mengantar sulam pada batinnya malam itu. Katanya kebingungan menjepit kedua ubunnya. Dia menangis melihat kedua anak Cabai meliukliuk di ujung pandangnya, kepalanya merah. Amarah membenamnya lalu ditenggelamkannya kepala ke dalam genangan  darah semata menodai rambutnya. Usai usang membalut kepala, kornea terjaga melihat pagi buta dikuasai Mina bernyanyi. Padahal mendengar lagupun, Tiung tak pernah selesai sampai not piano terakhir. Tapi lagu Beo memekik hingga tercekik kerongkongannya. Lalu dibutakannya lagu dengan nada hitamnya. Melihat Merpati berkirim surat dengan kekasihnya, gusarnya meletup tiba ke runut dada merantai ke tepi sendi. Disumpalinya email, pesan singkat, hingga faksimili ke dalam suapan rahang istrinya. Kini Camar, Punai, Manyar, Balam, Perenjak, Murai hingga Cendrawasih menarinari dengan sayap senyap semata mengibas langit lewat pandangnya. Lagi dia hanya mampu berlari di udara dengan asapnya. Dengusnya tak henti hingga inginnya tenggelamkan dunia. Namanya. Lalu siapa yang ingin menjadi manusia ? Atau burung sebenarnya?


Berkali Lagi

Menggepul pagi dengan kepak terdepak.
Sudah berapa titah pantul dipipinya ?
Masih juga dipakainya sayap serupa.
Dicucinya, dibilasnya, dijemurnya, disetrikanya
Lalu dinodainya lagi dengan wewangian dunia.
Tapi dia tenggelam lagi di udara, dongeng tetangga
yang itu-itu saja.

2013


R Dianie Dasopang, dara kelahiran 5 Oktober 1992, Padang Sidempuan, Sumatera Utara. Mahasiswi semester empat Kimia Fmipa Universitas Riau. Bermula menyukai menulis cerpen sejak SMP, pernah meraih juara I (Putri) Lomba Mengarang Tingkat Kabupaten Rokan Hulu Riau 2008, dan Juara I Lomba Penulisan Cerpen Peksimika Universitas Riau 2012. Membaca puisi sejak TK, pernah juara I Membaca Puisi saat TK di Padang Sidempuan. Puisi-puisinya dimuat di KOMPAS.com dan Metro Riau. Kini tertarik menulis puisi dan saat ini bergiat di Community Pena Terbang (COMPETER) Pekanbaru.
 
Template Design By:
SkinCorner