Kebun
Bunga, Hampa
bang, maaf tak kusirami
pagi tadi
bungabunga di kebun kita
sengajaku biarkan layu pun kering hingga kupukupu bahkan lebah sekalipun enggan menghinggapinya
kau benar, kebun ini kita bangun dengan kasih sayang dan kesabaran, tapi tidak untuk akhir-akhir ini
kau tanam bermacam bunga dengan warna dan bentuk yang beraneka pula--lainnya
dengan harapan memperindah kebun bunga kita
tidak!
kau salah,
Lihatlah, ulatulat cemburu mulai giat meracuni dedaun telinga dan mematahkan tangkai kepercayaan kita
hingga tak sedap dirasakan hati
tampak kering layu, kusam seburam hatimu,
dan demikianlah gambaran cinta kita yang tak saling memahami (lagi)
Medan Ruang Competer, 8-3-14
bungabunga di kebun kita
sengajaku biarkan layu pun kering hingga kupukupu bahkan lebah sekalipun enggan menghinggapinya
kau benar, kebun ini kita bangun dengan kasih sayang dan kesabaran, tapi tidak untuk akhir-akhir ini
kau tanam bermacam bunga dengan warna dan bentuk yang beraneka pula--lainnya
dengan harapan memperindah kebun bunga kita
tidak!
kau salah,
Lihatlah, ulatulat cemburu mulai giat meracuni dedaun telinga dan mematahkan tangkai kepercayaan kita
hingga tak sedap dirasakan hati
tampak kering layu, kusam seburam hatimu,
dan demikianlah gambaran cinta kita yang tak saling memahami (lagi)
Medan Ruang Competer, 8-3-14
Berakhir
kau kenalkan aku bahagia, kau tunjukkan aku luka pula.
sama saja ujungnya ada air mata.
kembalikan saja ke awal cerita agar tiada akhirnya.
Medan Ruang Competer,
8-3-14
Monolog Perempuan Pencinta Rindu
malam
masih saja berselimut awan, membuatku begitu tawan. kuputuskan untuk menetap di
sini ruang kamar tempat yang aman menjabarkan segala perasaan, berteman musik
selo bersenandungan
aku menghirup udara cukup lama, tenyata ruang ini menyimpan aroma bunga rampai—selalu menyebar harum sedapnya
aku mulai menekan tut demi tut keyboardku. Mengacak huruf mengetik namamu agar kutahu sedang apa kamu. sebaris pesan singkat kuselipkan di sana, karena kutahu kau pasti membacanya. begitu kamu mengakses jendela maya. jendela yang mempertemukan kita, dan mewadahi begitu banyak cerita.
Aku melirik ke sebelah sana, sudut kanan jendela maya. Tak ada tanda-tanda lampu hijaumu menyala—kecewa
Aku mengelus dada, menyugestikan semangat untuk hatiku yang sok kuat. Pada wajahku sendiri kupaksakan senyum terulas jelas. Tanpa kusadari kamulah yang menyanderaku di ruang ini.
Waktu telah berjalan cukup lama, ingatku. Di beranda itu masih tersimpan apik emoticon lucu memungut kecewaku.
Sekali lagi kuulang lirikan singkat ke jendela, berharap hijaumu menyala dan berikan emoticon senyum paling manis yang kau punya. Lalu bertanya “Kamu sedang apa” sebagai awal dialog mesra. Dan seperti biasa kita bertukar cerita apa saja tak melulu tentang cinta.
Kaukah yang kurindukan? Tanya yang lintaslalu menghentikan jari. Tentu saja, jelasku. Akulah yang setia menyimpan rindu untukmu, merindukan tawa manjamu, juga kecemburuan yang kadang menggelitik hatiku.
dan apakah kamu juga merindukan kebersamaan kita yang mengalir sesejuk telaga? kali ini aku tak bisa segera bersuara, karena aku juga belum tahu pasti jawabnya.
Lalu aku bertanya sendiri, adakah kau juga merindukan kebersamaan kita yang menyegarkan seperti udara di taman bunga? Untuk ini aku tak berani menduga jawabnya, karena bisa saja aku salah kaprah ujungnya kecewa (lagi)
Kini aku pilih tersenyum saja, memandang fotomu di beranda maya dan semua berbalas pesan cinta di jendela maya, terlaksana pula dalam realita. Ya. semua masih seperti biasa tak ada kata curiga untuk komitmen kisah kita, tegasku.
aku menghirup udara cukup lama, tenyata ruang ini menyimpan aroma bunga rampai—selalu menyebar harum sedapnya
aku mulai menekan tut demi tut keyboardku. Mengacak huruf mengetik namamu agar kutahu sedang apa kamu. sebaris pesan singkat kuselipkan di sana, karena kutahu kau pasti membacanya. begitu kamu mengakses jendela maya. jendela yang mempertemukan kita, dan mewadahi begitu banyak cerita.
Aku melirik ke sebelah sana, sudut kanan jendela maya. Tak ada tanda-tanda lampu hijaumu menyala—kecewa
Aku mengelus dada, menyugestikan semangat untuk hatiku yang sok kuat. Pada wajahku sendiri kupaksakan senyum terulas jelas. Tanpa kusadari kamulah yang menyanderaku di ruang ini.
Waktu telah berjalan cukup lama, ingatku. Di beranda itu masih tersimpan apik emoticon lucu memungut kecewaku.
Sekali lagi kuulang lirikan singkat ke jendela, berharap hijaumu menyala dan berikan emoticon senyum paling manis yang kau punya. Lalu bertanya “Kamu sedang apa” sebagai awal dialog mesra. Dan seperti biasa kita bertukar cerita apa saja tak melulu tentang cinta.
Kaukah yang kurindukan? Tanya yang lintaslalu menghentikan jari. Tentu saja, jelasku. Akulah yang setia menyimpan rindu untukmu, merindukan tawa manjamu, juga kecemburuan yang kadang menggelitik hatiku.
dan apakah kamu juga merindukan kebersamaan kita yang mengalir sesejuk telaga? kali ini aku tak bisa segera bersuara, karena aku juga belum tahu pasti jawabnya.
Lalu aku bertanya sendiri, adakah kau juga merindukan kebersamaan kita yang menyegarkan seperti udara di taman bunga? Untuk ini aku tak berani menduga jawabnya, karena bisa saja aku salah kaprah ujungnya kecewa (lagi)
Kini aku pilih tersenyum saja, memandang fotomu di beranda maya dan semua berbalas pesan cinta di jendela maya, terlaksana pula dalam realita. Ya. semua masih seperti biasa tak ada kata curiga untuk komitmen kisah kita, tegasku.
Medan Ruang Competer, awal Maret 2014.
Azizah Nurfitriana, Mahasiswi Bahasa dan Sastra Indonesia - Universitas
Negeri Medan (Unimed). Puisi-puisinya
meramaikan laman Medan Bisnis, Waspada, Analisa, Frasa dll. Tergabung dalam
antologi puisi “Tifa Nusantara”. Saat ini tunak di Komuintas Tanpa Nama (KONTAN) dan Community
Pena Terbang (COMPETER) Dunia Maya dan JPIN. Akun email : HP: 085763970512.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar