Siti
Pagi-pagi
sekali Siti sudah keluar ruang ICU, setelah semalaman dia menemani Cut Bang di
sana. Ia melangkah terburu-buru keluar dari rumah sakit. Seperti biasa, Siti
akan membeli beberapa tangkai mawar segar yang dijual tepat di depan rumah
sakit tempat suaminya dirawat. Siti akan memilih bunga yang paling segar untuk suaminya
yang sedang terbaring lemah di ruangan ICU.
Siti
ingat, Cut Bang, suaminya itu sangat menyukai bunga mawar. Itulah sebabnya,
saban pagi Siti sudah memberikan beberapa tangkai mawar untuk Cut Bang. Cut
Bang akan mencium harum bunga mawar yang sangat segar. Itu dilakukan Siti
setiap hari, tanpa merasa bosan sama sekali.
Empat
tahun lalu, Cut Bang mengalami kecelakaan hebat di jalan raya saat pergi
bekerja. Kecelakaan yang membuat suami Siti itu diam seribu bahasa di ruangan
ICU. Empat tahun adalah penantian yang sangat panjang. Menunggu. Kesetiaan
seorang perempuan terhadap suaminya. Siti merasa tidak sia-sia menunggu lelaki
yang sangat dicintainya itu, Cut Bang. Siti yakin Allah mendengar setiap
doa-doa yang ia pinta.
Sementara
itu, dokter Ali Hanafiah dari lantai dua rumah sakit sedang memperhatikan
tingkah Siti dari jauh. Itu dilakukannya setiap pagi pula. Tanpa merasa bosan
sama sekali, seperti kesetiaan Siti terhadap suaminya. Dokter Ali sebenarnya
sudah lama menaruh hati pada Siti. Tapi ia tidak mampu mengutarakannya.
Mengingat Siti sangat setia kepada suaminya, yang tidak kunjung sadar di ruangan
ICU.
***
Sudah
banyak laki-laki yang ingin mengajak Siti menikah lagi. Siti memang masih muda.
Lagi pula Siti sudah mapan, ia berprofesi sebagai guru di sebuah madrasah pusat
kota.
Orang-orang
beranggapan, suami Siti tidak akan sembuh. Mana ada orang sekarat selama empat
tahun, sudah pasti orang itu akan menemui kematian sebentar lagi. Tapi Siti
tetap saja pada pendiriannya. Ia selalu menolak laki-laki yang akan
meminangnya.
“Dokter
Ali Hanafiah itu kurang apa lagi?”
“Kan
Siti masih punya suami, Bu?”
“Apa
kau akan hidup seperti ini. Menjanda seumur hidupmu!”
“Siti
tidak janda, Bu. Suami Siti masih hidup.”
“Jangan
berharap pada suamimu itu. Jangan berharap pada lelaki yang terbaring di rumah
sakit selama empat tahun. Sudah sepatutnya kau menikah lagi. Kau masih muda,
Siti. Sudah sepatutnya kau bahagia. Kau harus membuka lembaran hidup yang baru.”
Siti
diam. Tapi ada air yang mengembang dari sudut kedua bola matanya. Ia tidak
berani melakukan itu. Ia belum bercerai dengan suaminya, Cut Bang.
***
Lama
Siti memandangi wajah Cut Bang. Wajah itu kosong, tapi seperti tersenyum.
Senyum itu yang selalu membuat Siti bahagia setiap harinya.
“Beberapa
hari lagi ulang tahun pernikahan kita?” suara Siti rendah seperti berbisik di
dekat tubuh suaminya yang lemah.
Suaminya
sama sekali tidak menjawab. Hanya ada suara alat-alat rumah sakit yang
berdetak. Suaminya masih saja tetap tersenyum, dengan selang yang masih ada di
tubuhnya. Tanpa semua alat bantu itu, suaminya tidak akan hidup.
“Apakah
Abang tahu, orang-orang menyuruhku menikah lagi?”
Tidak
ada jawaban, melainkan sunyi yang mengembang.
“Apakah
Abang setuju aku akan menikah? Bukankah kita belum bercerai?” Tangis Siti kian
pecah di ruang ICU. Suaminya tetap diam, tapi seperti tetap tersenyum.
“Siti
akan tetap menunggumu. Abang jangan khawatir. Aku tidak akan menikah dengan orang
lain. Sungguh. Maka Abang harus cepat sembuh dan bangkit dari tempat aneh ini..”
***
Siti
sudah keluar ruangan ICU. Hari ini tampak berbeda dari hari lainnya, sebab
tepat ulang tahun pernikahannya dengan Cut Bang. Siti bermaksud memenuhi
ruangan ICU dengan mawar segar. Mungkin itu dapat membantu suaminya supaya
cepat sembuh.
Siti
masih mengharapkan sebuah keajaiban hari ini. Ia tidak perduli, berapa lama
lagi dia akan menunggu suaminya. Ia percaya, rezeki, umur, dan jodoh di tangan
Tuhan.
“Saya
hari ini membeli semua bunga mawar ini,” tutur Siti pada seorang penjual bunga.
“Semua?”
“Ya,
hari ini hari ulang tahun pernikahan saya. Sebab itu, aku tidak ingin
melewatkannya begitu saja.”
Penjual
bunga tersenyum. Setelah ia memesan bunga mawar yang banyak, ia bermaksud
membeli bolu tart.
Bukankah
hari ulang tahun pernikahan lebih baik ditemani dengan bolu tart? Tapi siapa
yang memakannya? Siti mulai bimbang.
Saat
Siti akan menyeberang jalan, tiba-tiba sebuah truk melintas dengan kecepatan
tinggi. Tubuh Siti terlempar. Darah menggenangi aspal. Langit tiba-tiba redup.
Bau amis tercium pekat.
***
Pihak
keluarga tergugu di depan kaca. Sementara
tim dokter rumah sakit sedang di ruangan. Nyawa Siti tidak tertolong. Pada saat
yang sama, nadi dan detak jantung Cut Bang pun berhenti.
Siti tentu bertemu dengan suaminya,
tentu dengan suasana yang sangat berbeda. Hingga mereka lengkap, seperti
sepasang pengantin bahagia…
*
Cerpen ini disadur dari cerpen Senyum Anne (Femina) karya Syila Fatar
Ramajani Sinaga. Lahir di Raot Bosi, Sumatera Utara, 5 Oktober 1993. Karya-karyanya
telah dibukukan, antara lain: antologi cerpen bersama “Siapakah Aku ini Tuhan”
(2011), kumpulan cerita horor bersama “They Meet With My Nightmare” (2012),
kumpulan cerpen komedi bersama “Cinta Kandas di Angkot” (2012), dan Antologi
cerpen bersama “Negeri Dalam Sepatu” (2013). Karya-karyanya dimuat di Sinar
Harapan, Analisa, MedanBisnis, Waspada, Serambi Indonesia, Asahan Pos, Radar
Seni, Lintas Gayo, Detak Unsyiah, Suara Mahasiswa USU, Batak Pos, dan lain-lain. Saat ini tercatat sebagai
mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Syiah Kuala, Banda
Aceh. Dapat dihubungi melalui email ramajanisinaga@rocketmail.com