Ini Jalan Hidupku
Hidupku sepertinya terlihat baik-baik saja. Itu yang orang-orang lihat dari luar. Sebenarnya tidak juga. Tidak baik-baik saja tentunya. Mereka tidak tahu bagaimana sulitnya aku mengatur semua kebutuhan di rumah ini. Sejak kepergian Mama, kehidupanku berubah. Dulu, aku yang masih bisa ketawa-ketiwi, bersenang-senang dengan teman-teman, pergi sesuka hati, memborong semua judul buku favorit, atau jajan di mall, sekarang berbeda. Aku harus menahan kegembiraan-kegembiraan itu untuk sebuah kewajiban.
Semua berawal sejak lima tahun lalu, ketika Mama mengidap penyakit kanker di rahimnya. Mama harus menjalani operasi, dan itu membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Tapi demi Mama, akhirnya semua dikorbankan. Beberapa barang dirumah sudah Papa jual untuk biaya operasi. Tidak hanya itu, Papa pun harus meminjam uang kesana kemari untuk mencukupinya. Dari semua pinjaman tersebut Mama-pun bisa dioperasi. Ternyata belum berhenti sampai disitu. Pasca operasi, Mama masih harus menjalani kemoterapi yang tentu saja juga membutuhkan biaya yang tak sedikit. Dan kemoterapi itu tidak dilakukan sekali, tetapi bertahap dan berkali-kali hingga dua tahun lamanya. Pinjaman Papa pun makin lama makin bertambah.. Alhamdulillah setelah kemoterapi, kanker ditubuh Mama dinyatakan hilang. Tapi sayang, efek dari kemoterapi mengakibatkan jantung Mama melemah.
Beberapa kali dalam satu tahun berikutnya, Mama sering mengalami sesak napas dan anfal karena gangguan jantungnya. Sungguh, kasihan sekali Mama. Mama yang dulu sangat ceria, hanya bisa terbaring lemah tak berdaya. Kami sekeluarga berusaha kembali mengobati jantung mama. Tak lupa, kami perbanyak solat malam dan berdoa. Tapi ternyata Allah berkehendak lain. Dua tahun lalu, jantung Mama benar-benar berhenti. Allah memanggil Mama untuk selamanya. Kami sangat terpukul dengan kepergian Mama. Terlebih Papa, yang sangat mencintainya, dan yang setia menemani Mama sejak di Rumah Sakit hingga di rumah duka. Aku sendiri tak rela melepaskan Mama. Usaha kami selam tiga tahun itu seperti sia-sia. Rasa kecewa dan sedih yang berkepanjangan menggelayutiku selama bulan-bulan awal kepergian Mama. Untung ada Yuni, sahabat setiaku. Yang hampir setiap hari datang menjengukku, hanya sekedar untuk menemaniku, dan memastikan aku baik baik saja. Hingga akhirnya aku sadar, bila semua memang sudah kehendak-Nya, dan kami hanya bisa berpasrah dan mengirim doa.
Babak baru kehidupanku dimulai. Sekarang tinggal aku dan Papa di dalam rumah ini. Kakak yang telah menikah 3 tahun lalu, sudah memiliki keluarga sendiri. Aku mulai kembali menata apa saja yang terbengkalai. Kenyataan yang baru terbuka di depan mata. Pinjaman-pinjaman yang digunakan selama pengobatan Mama harus segera dikembalikan. Gaji Papa yang tak seberapa itu, sudah tak cukup untuk melunasi semuanya. Alhasil, setiap bulannya, uang gaji Papa habis hanya untuk menyicil pembayaran pinjaman-pinjaman itu. Kuliahku-pun berantakan. Sebuah keputusan aku lakukan. Aku berhenti kuliah dan harus kerja. Karena sudah tak ada biaya lagi untuk melanjutkan kuliah. Dan jika aku tak membantu bekerja, kebutuhan ekonomi di rumah ini tak bisa terpenuhi. Tak ada yang bisa Papa katakan selain meminta maaf padaku. Papa bilang, "Maaf, Papa tak bisa membantu melanjutkan kuliahmu. Sekarang terserah kamu, Lia. Papa tidak menyalahkanmu. Papa dukung semua keputusanmu."
Tapi yang membuatku sedikit merasa kesal dan sedih, ada sindiran dan sedikit hinaan dari saudara-saudara Mama, yang notabene cetakan kampus-kampus ternama, ketika mengetahui aku memutuskan berhenti kuliah. Memangnya kenapa jika aku tak kuliah? Apa itu salah? Toh, mereka juga tak peduli dengan keadaan ekonomi keluarga ini. Mereka juga tidak ikut mengatasi masalah di rumah ini. Walau saat-saat itu, di hati ini yang ada hanya sedih dan selalu ingin menangis, tapi ku berusaha tegar. Jadi, aku tak menghiraukan semua sindiran mereka. Keputusanku sudah bulat. Aku akan membantu Papa memperbaiki ekonomi keluarga ini dengan bekerja.
Aku mulai bekerja. Karena aku pernah berkuliah di jurusan pendidikan, meski tak sampai tamat, kuputuskan aku akan menjadi guru privat, sembari aku melamar ke beberapa tempat dengan ijazah SMA yang kupunya. Untunglah, Yuni selalu ada untuk mendukungku. Dia membantu mencarikan aku murid yang membutuhkan les privat. Di bulan pertama aku sudah mendapatkan 2 anak, yang salah satunya adalah keponakan Yuni. Aku benar-benar berterimakasih pada sahabatku ini. Uang hasil aku mengajar ini cukup membantu untuk memenuhi kebutuhan keluarga, seperti membayar iuran listrik, membeli kebutuhan sembako, dan kebutuhan lainnya.
Ada kalanya juga, aku benar-benar tak memiliki uang sepeser pun. Misalnya, karena orang tua murid anak didikku terlambat membayarkan uang les. Hal ini pasti membuat aku kelimpungan. Aku tak mungkin memintanya pada Papa, karena hasilnya pasti nihil. Dalam keadaan seperti ini, Yuni-lah satu-satunya dewi penolong. Dia akan datang, dan berkata, "Sudah, pakai saja dulu uangku, Lia. Kau bisa kembalikan jika sudah ada uang." Sungguh, aku benar-benar malu pada Yuni, tapi juga berterimakasih padanya. Namun aku tak bisa terus-terusan meminjam uang padanya. Aku pun memutar otak. Akhirnya, dengan berat hati aku relakan benda-benda kesayanganku untuk aku jual atau juga aku loakkan. Meski hasilnya tak seberapa, tapi cukuplah untuk menutup perut kami yang keroncongan. Aku tak peduli lagi omongan tetangga yang mengetahui bahwa aku sering meloakkan barang-barang.
Kenaikan BBM yang membuat semua barang-barang juga ikut naik, menambah deretan kegelisahanku. Aku harus bisa menambah penghasilan. Yang membuatku sedikit kesal, ijazah SMA yang kupunya tak bisa menjaminku mendapat pekerjaan tetap. Aku berpikir dua kali. Sepertinya aku harus menambah jumlah murid yang membutuhkan les privat. Alhamdulillah, tangan Allah datang saat itu. Salah satu orang tua murid merekomendasikan aku ke orang tua murid yang lain, karena hasil dari yang kuajarkan dinilai memuaskan. Sehingga muridku bertambah. Sekarang ada 5 anak di tempat yang berbeda yang kuajar privat. Papa bangga padaku. Papa sadar, sekarang aku-lah yang menjadi sumber pendapatan untuk kelangsungan rumah ini.
Dan beginilah aku sekarang. Rutinitas yang kujalani setiap hari, dari hari Minggu sampai dengan hari Jumat. Pagi hari, membereskan urusan rumah, seperti menyapu, mencuci, menyiapkan makanan untuk Papa. Siang harinya, mulai jam 1 siang hingga jam 9 malam, berpindah dari rumah murid yang satu ke rumah murid yang lain untuk mengajar privat. Walau terkadang badan capek, tapi tak kuhiraukan. Aku tetap semangat menjalani ini semua, demi membantu Papa mencukupi kebutuhan ekonomi keluarga ini.
Terkadang ada penyesalan, karena harus meninggalkan bangku kuliah. Ada juga rasa jenuh dan bosan menjalani rutinitas ini. Namun akhirnya ada kebahagiaan, kala melihat senyum Papa yang bisa menikmati hasil jerih payahku. Pada akhirnya, aku berkata, inilah aku. Ini jalanku. Dan aku bangga menjalani hidupku.
Moving:
Kita tak bisa mengharap kedua ujung tebu sama manisnya. Begitu pula kehidupan kita, yang tak hanya manis, tapi juga ada pahit terasa. Tak perlu gundah, tetaplah tegar. Jika kita melihat kedalam hati, dan tidak menemukan sesuatu yang salah disana, apa yang musti dicemaskan? Apa yang harus ditakutkan? Tetaplah berusaha melakukan yang terbaik dan tak lupa berdoa. Niscaya Allah akan memberi jalan untuk kita, dan semua kan berakhir indah pada waktunya.
Biodata narasi:
Saya adalah Adelia Vernanta Dewi, anak ke-dua dari tiga bersaudara, yang lahir 2 Maret 1984, dan menamatkan TK hingga SMA di daerah khas makanan pecel, yaitu Kota Madiun. Saya sangat suka menulis, dan impian saya kelak menjadi penulis yang dikenal banyak orang. Yang ingin lebih kenal dan menjadi teman, bisa add akun facebook saya, dengan nama Lia Vernanta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar