Kaligalang
Kulihat ke utara dan selatan
Alam perawan, hamparan sawah menghijau
Tanaman rumput, padi dan jagung ikut merayakan mataku memandang
imaji berkejaran menuntaskan menggerayangi keelokan
Aku duduk di teras rumah warga
Terus mengayunkan mata
Menikmati keperawanan semesta
Yang masih utuh oleh kedamaian dan wiwit
Rumah yang terbuat dari gedek
Ikut menyenandungkan irama Jatilan
Irama yang menggetarkan tanah Kaligang
Kulonprogo, 2011-2012
Puisi untuk Penyair
Aku bersumpah atas nama puisi, semestalah tempat kata-kata
Darah, keringat, lapar dan perjuangan melahirkan anak bernama puisi
Aku telah banyak melahirkan kata, apakah engkau belum membaca, melihat
: puisi itu jujur
Tutur lidahnya airbening airmata, tingkahlakunya gerak angin surga
Kesantunannya laksana cahaya bulan
Jiwanya bening, tapi mengapa surga kau gersangkan di dada
Kau tebang kehijaun dan kau bakar reremputan
Surga adalah puisi ketenangan, kedamaian
Aku hidup kaya bersama isteri dan anak
Kami pupuk kehijauan tetap indah kusemai
Bukankah telah kutuliskan secarik kertas putih berisi puisi
Kubermegah-megahan dengan puisi, tidak dengan harta
Ia tak bermakna apa jika kusembahkan pada sang Maha
Tuhan yang maha adil padamula kuserahkan segala
Segala yang tak bisa kubaca, segala yang tak bisa kutata
29/09/11
Kurawat puisi dengan diri, kupupuk diri dengan puisi
bersama alam, tidur, bangun, lapar, makan dan berteduh di awan
Hujan membasah tubuh, melahirkan mataair
pepohonan menyimpan setia, kesejukan tercium indah mendinginkan jiwa-jiwa
Luka dan kegersangan mulai menipis terkikis kerakusan manusia
Kuingatkan sang diri untuk kembali pulang ke rumah dan diri yang dulu; tanah
Cucuran mani yang luar biasa hina tak pernah kau ingat
Hidup hanya hidup tak kau dengarkan tasbih dalam diri
Kenyerihan tak henti di rundung ngilu kehidupan dan bocoran perjalanan
Kusimpan di batas akhir
Moral kita gadaikan, mental kau bunuh santun, bangsa kau jual pada tuyul
Dimanakah keseimbangan?
Menjaga dari kegersangan dan penderitaan waktu
Aku duduk di tepi sungai Bai, menunggu
Tuhan yang maha pencipta, alam yang hijau kau biarkan gersang, kau hirup udara segar dan kau hisap makanan lezat
Hidup yang serba cepat seperti malaikat tak bisa kau kejar dengan syahwat
Jogja, 2012
*Matroni Muserang nama pena dari Matroni, lahir di Banjar Barat, Gapura, Sumenep, Madura, Jatim. Alumni al-Karimiyyah dan Al-in’an, Aktif menulis di banyak media baik lokal maupun nasional, Kompas Jogja, kompas.com, Suara Pembaruan, Sinar harapan, Suara Karya, Swara Merdeka, Minggu Pagi, Merapi, Solo Pos, Harianjoglosemar, Surabaya Post, Surya, Radar Madura, Lampung Post, Batam Pos,dll. Buku antologi bersamanya adalah “Puisi Menolak Lupa” (2010) “Madzhab Kutub” (2010) Antologi Puisi Festival Bulan Purnama Majapahit Trowulan 2010 Dewan Kesenian Jatim. Suluk Mataram 50 Penyair Membaca Jogja (2011), Menyirat Cinta Haqiqi (temu sastrawan Nusantara Melayu Raya (NUMERA), 2012), dan Rinai Rindu untuk Kasihmu Muhammad (2012), dan Saok Seloko (PPN 6 Jambi 2012) kini tinggal di Yogyakarta.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar