Tepian Mimpi Mereka
Pulanglah kau, Jum!
Ke hutan sana
Memunguti air mata yang patah dan jatuh dari pepohonan.
Aku telah mengakar pada jantungmu
Lekaslah kembali!
Menyelimutiku dengan bau bambu yang kau ambil dari kelopak mataku
Aku masih menangis tentang hutan itu.
Rumah kita: hutan, sawah, ladang.
Akan karam pada tangan mereka yang nisbi
Maka cepatlah belajar berenang bersamaku di empang belakang.
Itu akan mengoyak ikan yang tidur.
Ikan-ikan akan sadar tentang kail-kail berujung kekejaman.
Tidurlah sekarang, Jum.
Biarkan rumah karam pada mimpi-mimpi mereka.
Kita berenang saja pada mimpinya
Menuju pagi dan sepotong kehidupan.
Rabi’ul Awwal 1434 H, Habib Arafat
Puisi
Puisi itu perasaan atau intlektual? Katamu puisi intlektual yang tajam lalu merajam.
Berulang kali kau mengkritiki puisiku terlalu dangkal untuk dikuliti.
Para peramu lainnya menyoal cita rasa yang tercipta pada tiap bait-bait puisiku.
Kegelisahan selalu mendekapku saat aku mendiskripsikannya pada seminar-seminar, diskusi-diskusi yang sarat istilah.
Lalu bagaimana aku mendiskripsikannya?
Shaffar 1434 H, Habib Arafat
Bayang-Bayang: Kau, Aku Dan Angan.
Im, kenapa kau selalu mendekap leherku. Nadi mulai sempit mencekik anganmu.
Kau rasa aku tak butuh bernafas lagi. Aku rasa aku akan mati olehmu.
Pada suatu waktu, kau akan menangisi kematian. Kau tak akan bisa mengingat pasujudan yang membuat keningmu berlumut. Hanya nisanku yang kau ajak bermain hidup.
Aku, sebenarnya menyayangimu, seperti kematian dan angan. Angan hanyalah kematian. Kau tak pernah menisankan angan-angan. Dia hanya kau gantung di kamar-kamar. Seperti kematianku, kau menggantungnya di kamarku.
Kau im, iya im, kau.
Kau hanya bayang-bayang. Anganku kau anggap bayangku. Bukankah kau adalah anganku, tapi anganku bukanlah kau. Kau hanya kesekian setelah angan itu memelukku. Kau itu bayang dari angan-angan.
Kau akan memelukku setelah ku dipeluk angan. Takkan pernah kau memelukku sebelum angan memelukku. Berdo’a saja biar angan lekas memelukku, maka kau akan segera memelukku. Entah kau memelukku dengan apa. Cinta, nafsu, kata-kata? Terserah kamu im.
Muharram 1434 H, Habib Arafat
Ilusi
Masihkah kita menyalahkan tentang kehancuran cinta kita?
Kau atau aku.
Kaukah yang menganggap bualan kata-kataku tentang bahasa kekeluargaan atau bahasa persenggamaan. Atau aku yang mengganggap kau tergambar seperti apa yang ku bayangkan di tiap lembaran bait-bait cintaku. Tentunya kau masih mengingat keceriaan kita yang pernah terukir di sepanjang jalan kotaku dan kotamu, atau di sepanjang jalan tempat kita belajar merangkai kata-kata itu.
Itukah ilusi yang kau maksud sejak dulu, sesaat aku merangkai bahasa kebangsaan ini untuk menuntun hatimu yang tidak tahu peta khatulistiwa? Itukah ilusi yang pernah terlupakan olehku, sesaat kita asyik memainkan derasnya air terjun yang menjadi mithos kehancuran ini? Kau atau aku, yang memulai menggambar ilusi ini di jalan-jalan terjal yang pernah kita lalui? Yang waktu itu kau bilang cinta, namun aku hanya menganggukkan kepala tentang bahasa kebisuan kepasrahan cinta ini terhadapmu.
Ini ilusiku atau ilusiku?
Barangkali ilusi kita berdua yang terkadang meredup dan terkadang bersinar.
Jumadil Akhir 1433 H, Habib Arafat
Arafat Abdul Hadi Choliel ( Arafat AHC ) lahir di Desa Jetak, Wedung, Kabupaten Demak dan sekarang tinggal di Ngaliyan, Semarang. Untuk menyapanya, bisa ke facebook: Arafat AHC dan bisa mampir ke blognya: Arafat AHC dan Serat Gusti. Atau bisa menghubungi cr7.rafa@yahoo.co.id dan 085640790588, 087833743942, 089605024633. Penulis tergabung pada komunitas Sastra LAH Kudus, yang saat ini mati suri karena ditinggal anggota-anggotanya ke berbagai penjuru Indonesia.
Ia hanyalah orang jalanan yang terus berlalu lalang sampai ia menemukan titik alamat hatinya yang sampai saat ini belum ketemu.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
penuh makna..
BalasHapusana izin share, ana ingin publikasikan ditempat lain. syukran jazilan
BalasHapusSilakan ukhty, asal disebutkan dari Al-Bratva hehe ^_^
Hapus