PESAN DARI [puisi] MAe
“Aku kedinginan, aku butuh wanita nakal. Arrrggghh!” sebuah pesan singkat dari Mae mendarat di Hpku. “Apa maksudnya? Wanita nakal?” hatiku bertanya-tanya.
***
Mae, pertama aku mengenalnya disuatu acara yang diadakan oleh sebuah forum, dia membacakan puisi waktu itu. “Menarik sekali,” pikirku sebagai seorang penggemar puisi. Kemudian aku mencarinya dijejaring sosial dan aku menemukannya. Dan saat terlibat dalam pembuatan antologi itulah aku mendapatkan nomor teleponnya.
Aku mulai menanyakan tentang “bagaimana membuat puisi yang baik.” Dan Mae bilang “sering-sering berlatih dan membaca puisi karya orang lain.” Begitu kurang lebih pesan singkat dari Mae. Selebihnya ia hanya mengirim puisi-puisi berat yang sulit kuartikan. Mungkin memang begitulah caranya mengajariku. Mae seolah tak peduli tentang kebingunganku, ketidakmengertianku mempelajarinya. Sebuah sistem mengajar yang sangat mandiri kupikir. Begitulah citra Mae di otak kananku.
Dan semakin lama aku merasa kami begitu dekat. Tak hanya puisi, pertanyaan kabar dan gurauan pun menjadi selingan dalam pesan-pesan pelajaran puisiku. Tanpa sadar aku melupakan sesuatu yang harusnya tetap aku ingat, bahwa aku adalah perempuan baik-baik dan Mae adalah lelaki baik-baik. Itu yang sempat terlupakan. Bahwa mungkin ada sesuatu yang berlebihan telah terjadi tanpa sadar meski hanya lewat pesan.
***
Dan kini aku tengah meringis membaca pesannya. Menahan sesuatu dihatiku. Pedih. Kubalas pesan itu, “Bukan aku!” beberapa saat kemudian Mae membalas, “kamu.” Ada apa dengan Mae? Seperti itukah aku dimatanya? Batinku terus bertanya. “Bukan aku, tapi dia!” begitu balasku, entah siapalah dia itu aku mengarang saja. Tak lama Mae membalas. “Dia wanita rusak. Ogah!” aku semakin bingung.
“Tega sekali kamu Mae.” Batinku. Dan sesuatu mengalir bebas dari sudut mataku. Kemudian kubalas lagi pesannya. “Tapi aku bukan wanita nakal!” pesan terkirim dan aliran itu semakin deras. Tak berselang lama ia membalas “ semua orang bisa mengatakan seperti itu, tapi ternyata... ” begitu pesan dari Mae.
Sempurna sudah retakan-retakan yang sedari tadi aku pertahankan, akhirnya berserak hancur. “Ini sangat menyakitkan Mae seandainya kamu tau.” Batinku.
“Kenapa mengatannya padaku? dipesan sebelumnya dan sebelumnya. Menyakitkan. Aarrgghh!” kukirim pesan itu pada Mae, berharap ia tau bahwa aku hancur saat ini. Namun Mae hanya membalas, “Ujian telah datang, ada yang naik kelas dan ada yang tinggal.” Aku tersentak membaca pesannya. “Begitukah? Aku tinggal kelas maksudnya?” aku bertanya sendiri. Kubalas pesan Mae, “Ya, aku mengerti,” hanya itu yang mampu kutulis, sebab otakku sedang menerka-nerka jawaban atas pertanyaanku.
Aku bertekad bahwa aku tak akan mengirim pesan lagi padanya, tidak untuk apapun temasuk puisi-puisi itu. Aku benci Mae. Kumatikan Hpku. Tapi aku tak bisa, lukaku terlalu perih, kemudian kunyalakan kembali Hpku. Tak lama setelah itu, sebuah pesan masuk, dari Mae, puisi sepertinya. Aku tak berminat membacanya, kuacuhkan saja. Tak lama berselang sebuah pesan kembali masuk. “Dik, aku menyayangimu, karena itu kuberikan kau alarm.” Begitu bunyi pesan singkat itu, pesan dari Mae.
Aku tercenung membaca pesan itu. “Mengapa tak lebih awal aku sadar? Harusnya aku lebih bisa menjaga hijab sebagai seorang wanita.” Aku membatin. Kemudian tersenyum. “Ah, Mae mungkin aku juga. Jangan bosan memberiku alarm.” Aku bergumam, kali ini aku rasa tak ada yang hancur, semuanya baik-baik saja. Mae.