TADARUS PENA di TUBUH SENJA
Lingkar pesona teraih suci menjelma atmosfir mata nurani
Sesyukur rintik menerka jelmaan kemaha Ia-an
Kitalah yang sedang memangu paku bumi
Dengan tinta melintang dalam aroma kesturi
Menghujat jejak nafas yang tergantung di ruang pengap
Tersadar
Bila tubuh mulai terapit aroma buta dari negeri penabur julangjulang
Sungai mulai mengering
Hingga lautanpun mulai merindukan sejengkal dari nadi kita
“Bu, kepada siapa lagi kita melamar istijabah senja”
“Janganlah kau tancapkan nuranimu di gurun lukamu”
“Tapi keberanian itu mulai menjadi tungku Bu”
“Kau telah berani menyulutnya Nak”
“Kakimu telah ternoda Bu kehormatanmu tergadaikan menelantarkan jiwa tanpa mata
kaki”
“ Bersumpahlah bahwa kau berani membakar kematian jiwamu sendiri dan syurga-Mu masih di kakiku”
Biarlah ini tetap memukau
Jangan kembali menabur padi di bebatuan basah
Damparkanlah muram itu disetiap hajat kelembutan mata kita
Mematri senja dalam tiap baris tadarus
Hidupilah kerinduan yang terpasung dalam keranda bumi ini
Senantiasa tanpa kafan dalam jemari
Hanya penamu yang akan mengakar di baris jejemarimu
Pujilah tangan kita yang masih mampu bertengadah
Membasuh kening persujudan dalam rangkai hamparan
Langit akan kembali terbangun dari lelapnya
Menyenandungkan baharbahar sayup
Dan tanah inipun tak sesali kehadiran kita
Nang Ning Nung Gung
KeNanglah setiap ayat tuhan yang hadir sejak mata ini tak mampu melihat
Cipta heNing menindih senja meski bintang masih tersimpan rapi di balik jubah kita
MereNung sebait hijaiyah yang mengalir deras di tubuh
Ada Sang AGung mentitah tak terdiam
Tangis kita ada dalam cintanya
Kan menjelma syurga hakikat
Yogyakarta, 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar