Perempuan yang Memesan Cinta Untuk Mati
Pelan tapi pasti kau merayap mengantri pada sebuah loket tua di pinggir jalan tempat para musafir biasa merebahkan dirinya. Matamu yang hitam lengkap dengan bulan serta bintang perlahan meredup saat semakin pendek jarak serta usia.
Kemarin masih pagi. Masih ada bunga serta matahari. Masih ada ombak dan camar yang mengisi lanskap pantai dengan lokan dan kerang yang disimpan dalam-dalam. “Aku akan menanti sebuah kapal yang melempar sauh, mungkin di sana akan kutemu setengah waktu yang kutabung—yang isinya entah harapan entah kesia-siaan” begitu ujarmu setiap kali angin datang begitu dingin. Tak ada yang ingat telah berapa digit purnama kauhabiskan di dermaga tua yang sebentar lagi akan tinggal sejarah itu.
“Jika yang bergetar itu hati, yang panas itu dada, dan yang terasa sebagai buahnya adalah rindu, maka yakinlah bahwa itu pasti cinta” sebentuk defenisi asmara yang selalu diingat oleh kau, hadiah dari yang terkasih. Setelahnya, seperti cerita klasik lainnya tentang cinta, maka hari-hari adalah kembang yang bersemi meski hujan-meski panas, meski siang-meski malam, meski waktu berhenti dan menyudahi segala isi hari.
Kini, detik sampai pada giliran di mana kau musti memutuskan. Mulutmu masih begitu gugu untuk memesan. Jelas terekam oleh petak memorimu tentang berita sore perihal amuk badai yang meluluhlantakkan segala kota dan selesa yang megah kaubangun di hati. Tapi waktu tak lagi bisa berhenti apalagi sampai mengulang kembali segala cerita yang pernah diukir bersama hari.
Ini saatnya…
Perempuan yang memesan cinta untuk kemudian mati bersama seseorang yang kita sepakati sebagai kekasih jiwanya….
2012
Yang Melukis Kota
1
Pelukis itu terus memandang lukisan kota yang baru selesai dibuatnya. Rambutnya yang panjang menjadi penuh warna karena sibuk yang terus membuat lupa. Masih ada yang kurang dengan bangunan tua di perempatan berlubang dengan arak-arak debu ini, katanya. Mungkin sebuah jendela lagi atau pintu yang memang sejak tadi sengaja tak dibuatnya. Ia pun mulai bekerja, kuas di tangannya sibuk meracik warna. Pada dinding sebelah kanan tepat tiga perempat di atas kepalanya waktu berputar kesetanan.
2.
Bangunan tua sederhana. Dari sebuah jendelanya yang besar kaubisa melihat seorang pria tengah duduk pada kursi malas. Tangannya sibuk memainkan sepuntung rokok yang tak menyala. Asbak yang ada di sampingnya telah penuh dengan puntung lain—yang tentu saja telah menemu ajal lebih dulu—yang memudar. Sesekali lelaki itu menyanyi lagu-lagu sepi sambil tetap memandang lurus ke depan, ke luar jendela besarnya. Masa muda yang tak pernah datang. Tiba-tiba saja ia telah ada di sini. Hanya terpaku duduk memandang jendela dengan tetap memegang puntung rokok yang tak mampu tersulut ujungnya. Ia melebur lalu jauh terbang melintasi dimensi dan sampai pada sebuah perempatan di mana seorang lelaki tengah berjalan dengan wanita, mungkin wanitanya.
3.
Jalan yang aspalnya berlubang-lubang itu jadi tempat bagi rindu untuk bermukim. Mungkin seperti rindu yang hinggap pada hati yang amat merasa sunyi.
Bagaimana bisa berbagi cinta pada sesuatu yang tak pernah ada. Saat kau berjalan di sana kelopak mawar, hampar padi, dan padang rumput yang melandai di garis batas cakrawala. Derita di mata adalah derita dalam jiwa. Mungkin seperti bocah yang mendengar langkah sepatu tapi takkan pernah sampai padanya. Cukup degup jantung yang bisa hadir dan pelan-pelan hilang dari pesta angin.
Di senja yang sendu. Matamu terus memandang tajam ke jalan yang berlubang itu. Ada api yang lalu menyala dan seketika jalanmu lenyap menyisakan asap dan bau gosong tubuh seorang yang tentu dengan amat fasih kau mengingatnya. Gagak-gagak pun menangis dengan pilu dan darah terus mengalir di mata. Tinggal kau yang hanya bisa mematung dan berdiri. Sekarang semua hanya putih. Tak ada tempat bagimu lari atau sekedar merebahkan diri sebab jalan yang berlubang itu hanya tinggal kenangan yang baru saja dilewati.
4.
Ada yang aneh dari si pelukis dengan rambut kusut penuh warna. Ia sama sekali tak menambahkan jendela atau pula pintu pada lukisan kotanya. Satu-dua camar yang dilukisnya kini telah berubah menjadi gagak-gagak malam. Perempatan yang agak berkilau diterpa lembayung sekarang sekedar garis yang hangus menghitam.
Bangunan tua mungkin desah-desah gelisah. Semakin lama ia berdiri, maka begitu kiranya dengan rindu yang akan terus membuatmu tersiksa. Tinggal sebuah dinding yang kini berdiri kokoh. Tak ada lagi jendela atau lubang apa pun di sana sehingga kau tak perlu bertanya tentang apa yang terisi di dalam. Itu hanya akan menambah resah, amsalmu sambil meletakkan kuas sewarna darah.
2012
Cipta Arief Wibawa, bukan siapa-siapa. Hanya penyair yang tidak suka makan sayur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar