Senin, 25 Juni 2012

Marvelous: Cerpen - Puisi Mulya Abdul Syukur & Muhammad Asqalani eNeSTe

Iblis dan Pesta Dansa

 

berperahu dansa sampai cumbu pada peluru di zirah batu
                                                             alarm berdenyut

mengingatkan gaung lelembut pesan sang malaikat kecil di lembah musykil
terjagalah….                                          itu iblis
                                                              itu iblis
mengendus ke belantika perempuan yang kau cinta dengan cara yang salah
                                                                             dengan cara yang ladah

segala tarian
   yang menukar biji retina dengan cahaya samar, cahaya pudar
punah fatamorgana


penumbuhsensasi                                                                             penuaisesal
                                         yang bertaburan di tiap tiang
g a g u r a g u r a b u m u
maka             karena telah kau merapal tanda
                     karena
                              telah
                                   kau
                                       merapal
                                                  tanda
                                       m
                        a
                      k
                              a
B E R S I A P LaH !!!
iblisusaisudahmengenakantopengtopan dalam s e n y u m a n kelakar sarat terbakar
peluru! Peluruuuuuuu…..

           ha           ha     ke-tumpaskan apel iblis
zakun berdegut berdiri di bawah pohon itu,debu-debu berusaha menjamah ujung gaunku.


Jibril tak tahu, berapa banyak waktu yang kusia-siakan untuk penampilan terbaik ini. Aku mencuci rambutku dua kali, berendam dalam bak mandi, dan mematut wajah berjam-jam di depan cermin ketika aku memilih gaun-gaun yang tak pernah kukenakan lagi sejak Ibuku meninggal. Aku ingin mendengar pendapatnya tentang hal ini, tapi ia terlambat datang setengah jam lalu. Atau mungkin saja ia tak’kan pernah datang. Aku tak tahu, aku hanya terus menunggu.
Saat aku bersandar di pohon dengan mata berkaca-kaca, terdengar bunyi roda-roda menggilas kerikil. Aku berbalik waspada, sebuah kereta yang ditarik kuda bungkuk bergerak mendekatiku. Jibril duduk di atasnya seperti seorang Raja. Turun dan meminta maaf padaku.
“Setelah kita berdansa nanti, aku akan membawamu pergi. Ke sebuah tempat dimana aku akan menjadi seorang Pangeran dan kau seorang Putri.
“Aku akan bernyanyi untukmu, membacakan dongeng, dan memakaikan mahkota di rambutmu yang indah.”
Aku tersenyum lebar, pipiku merona merah. “Kau seperti Ibrahim yang menghancurkan berhala-berhala.”
Jibril menyerahkan revolver Papa. Aku menyembunyikannya dalam gaunku, bersama butiran-butiran peluru segar yang bergemerincing.
“Aku hanya ingin berdua saja denganmu.” Kataku.
Jibril tersenyum, meraih tanganku, menggenggamnya erat-erat. “Aku telah menunggu-nunggu melihatmu seperti ini. Kau benar-benar menakjubkan.”
Kami berjalan dalam sepi menuju aula pesta di ujung jalan setapak. Aula dengan balon warna-warni, lampu-lampu yang gemerlapan, serta alunan musik yang menyentuh langit para bidadari.

Sebelumnya ...
Melodi seperti angsa buruk rupa. Tak ada seorangpun anak laki-laki yang menyukainya. Tapi suatu hari ia mengajakku bertemu, hanya kami berdua. Ketika melihatnya dari dekat, Melodi tak seburuk seperti yang orang-orang bilang.
“Apa yang kau inginkan?” kataku.
“Menawarkanmu perjanjian.” Kurasa ia mengerahkan keberanian yang besar untuk mengatakannya. “Mau tidak, jadi pasanganku di pesta dansa?”
Mataku melebar. “Kau gila ya?!!! Aku tak mungkin melakukannya. Semua orang membenciku.”
“Kau bisa membuat dirimu terlihat berbeda. Begitu juga diriku. Tak akan ada yang mengenali kita.” Melodi berusaha meyakinkanku.
Aku menatapnya seolah-olah ia sudah tak waras. Gadis ini aneh, sama seperti penampilannya. Ia memakai gaun polkadot dan karet gelang di kedua ujung kepang rambutnya yang mencuat seperti baru saja tersambar petir. “Cari saja orang lain.” Aku meninggalkannya. Namun ia bangkit dan meneriakiku sesaat sebelum aku berbelok ditikungan.
“Aku tahu malam-malam kau menyelinap ke dalam rumahku. Pilih jadi partnerku, atau malam ini juga kau masuk penjara. Ayahku Polisi, ia bisa dengan mudah melakukannya.”
Aku mendengus, bahuku merosot. Saat aku berbalik, Melodi mengulurkan sesuatu dari balik pinggangnya, sesuatu yang nyaris berhasil kucuri malam itu.

Aku berusia tiga belas tahun. Kedua orang tuaku meninggal tiga tahun yang lalu. Rumah kami terletak di lereng bukit, dikelilingi pepohonan meranggas, dan kesendirian yang nyata dari peradaban luar. Maka ketika seseorang membidik ayahku dengan revolver, aku hanya memiliki satu pilihan pahit: menyaksikan ayahku tewas di atas genangan darahnya sendiri.
Aku masih ingat dengan jelas wabah penyakit yang diderita warga desa. Penyakit aneh, yang membunuh sebagian besar anak-anak seusiaku. Ketika hal itu sudah berlangsung lama, semua mata tertuju pada rumah keluargaku.
Mereka heran aku baik-baik saja. Aku tidak terserang penyakit apapun seperti anak-anak yang lain. Entah siapa yang lebih dulu memulai, mereka menganggap ayahku tukang tenung.
Saat aku sedang bersembunyi dari Abangku, orang-orang itu mendobrak pintu rumah kami. Menggulingkan kursi, lemari bambu, dan televisi hitam putih kesayangan ayah. Aku mencoba mengenali mereka dari suara-suara. Karena satu-satunya yang kulihat adalah lengan gemuk telanjang dan tato trisula Iblis berwarna merah menyala, ketika pemiliknya menodongkan pistol ke mulut ayahku dan menembaknya hingga ia mati.

Ketika aku masih mengencingi pot-pot bunga ibuku saat aku perlu pipis di malam hari, ia sering menyelimutiku sebelum aku tertidur. Mengusap keningku, menyingkirkan poni rambutku, dan tersenyum dalam temaram. Aku takut gelap, monster dan hantu, serta lolongan anjing di tengah malam buta.
Ibuku bilang, setiap kali aku mendengarnya, aku harus merapal bismillah dan memohon perlindungan pada Tuhan. “Tahukah kamu pertanda apa itu?”
Aku menggeleng, menyembunyikan separo wajahku di balik selimut, hingga Ibu hanya bisa melihat sepasang mataku yang berbinar ketakutan.
“Anjing-anjing itu melihat sesuatu, berjalan di antara bayangan pepohonan.”
Aku menahan nafas. “Siapa itu?”
“Iblis.” Kata Ibuku, nyaris menyerupai bisikan.
Setelah beberapa tahun Ibuku meninggal, aku terbangun malam hari dan mendengar ratusan anjing geladak melolong dalam gelap. Aku turun dari tempat tidur dan merapal doa pelindung. Saat aku menyibak tirai jendela rumahku, aku melihat pondok di kaki bukit diterangi cahaya terang. Tempat itu pernah ditinggali keluarga nomaden yang membentuk grup sirkus murahan, tapi sejak pembantaian seluruh keluargaku, rumah itu dibiarkan kosong. Saat ini salah satu jendelanya terbuka lebar-lebar, aku melihat sebuah bayangan melintas dalam cara yang tidak wajar.
Lolongan anjing semakin gaduh. Purnama bersembunyi dalam cabikan awan. Aku menurunkan tirai dengan gemetar.
“Anakku, Tuhan menciptakan Iblis sebagai lambang kejahatan. Dan malaikat sebagai lambang kebaikan di alam semesta.”

Sejak pertemuan pertama kami, Melodi mengajariku berdansa setiap hari. Kami menyelinap ke gedung pertemuan, memanjat jendela samping tanpa teralis. Ia bakal menyuruhku menanggalkan alas kaki, berdiri di lantai kayu berpelitur, dan mengikuti gerakan yang ia tiru dari televisi. Aku sempat protes bagaimana kami melakukannya tanpa musik. Namun Melodi mengeluarkan pemutar musik mini miliknya, mengalungkan headphone di telingaku. Dia bilang, namanya mp3 player. Aku bisa menyimpan jutaan lagu di dalamnya. Seandainya saja aku memilikinya, aku tak tahu lagu apa yang bakal kusimpan dan kudengarkan sepanjang waktu. Karena satu-satunya lagu yang kumiliki dalam hidupku adalah lagu kematian.
Setiap hari aku membantunya memanjat jendela, setiap hari ia mengalungkan headphone di telingaku, setiap hari kami menyentuh tangan masing-masing dan bergerak satu irama. Setiap hari, entah apa yang memantraiku, gadis itu terlihat semakin menarik.
“Tadi pagi,” iya menggenggam tanganku, meremasnya lebih kuat saat ia berputar dalam gerakan indah. “aku melihat matahari seperti berlian biru, tersembunyi dalam awan-awan kelabu.”
Aku tersenyum. Melodi kembali meraih kedua tanganku, berayun dalam gerakan lambat.
“Bolehkah kita berhenti sebentar!” kataku.
Melodi mengangguk. Aku melesat ke belakang, berlari sekencang-kencangnya.
“Kau mau kemana?”
“Kamar mandi!” kataku. Ia tak perlu tahu kalau aku hampir meledak saking gugupnya.
Pada hari yang lain, aku menyuruhnya berdiri di hadapanku. Perlahan-lahan, aku melepas kacamata konyolnya, melepas kepangan rambutnya, dan menyingkirkan poni rambutnya yang menghalangi wajahnya dari pandanganku.
“Kurasa kau terlihat lebih cantik kalau begini.”
Aku belum pernah melihatnya tersenyum dengan cara seperti itu. Detik itu juga, kurasa aku tengah melihat seseorang yang lain. Bukan Melodi berpenampilan tolol yang diolok-olok sepanjang hidupnya. Sejak hari itu kami berdansa dengan canggung. Bukan lagi sebagai suatu keharusan, tapi karena kami berdua benar-benar menikmatinya.
“Jibril,” katanya. “Apa yang paling kau inginkan dalam hidupmu?”
Aku menarik nafas perlahan-lahan, bersandar di bahunya yang hangat.
“Merindukan Tuhan, setiap detik dalam hidupku.”

Melodi menyerahkan bagian terakhir dari janjinya padaku. 6 buah peluru mengkilat yang membuatku bergetar melihatnya.
“Besok sore aku akan menunggumu di bawah pohon itu.” Katanya. “Selesaikanlah apa yang harus kau selesaikan.”
Aku mengangguk. Berjalan meninggalkannya. Menyusuri jalan setapak, di bawah bayangan ranting dan taburan senja oranye. Saat aku berbalik lagi ke belakang, Melodi masih berdiri di sana, menyaksikanku, matanya berkaca-kaca.
“Jadilah putri negeri dongeng untukku.”
Ia tersenyum lebar. Walau setitik air mata berkilau di matanya, menuruni pipinya perlahan-lahan sebelum jatuh tertelan debu.
“Kau tahu, sebelum ibuku meninggal, ia berkata padaku bahwa suatu saat seseorang akan hadir dan memberi makna berbeda dalam hidupku.” Katanya. “Sekarang aku percaya perkatannya. Kita akan selalu menemukan kebenaran dalam kata-kata mereka yang telah tiada.”
Melodi berbalik, meninggalkanku. Walau aku menginginkannya tinggal lebih lama. Saat sosoknya tertelan bayangan gelap, tiba-tiba hatiku terasa hampa.
“Ibuku juga mengatakan sesuatu padaku, Melodi. Tahukah kau akan hal itu?”

Pria itu bernama Gurkha. Seorang pengelana berjenggot dalam jubah panjang. Ia selalu berbicara tentang Tuhan dan surga, tentang dukun dan kemeyan—Tuhan orang-orang miskin yang terlalu tolol hingga mantra-mantra Iblis terasa lebih nyata ketimbang wahyu dari langit.
Awalnya aku curiga padanya. Karena sejak kedatangannya ke bukit ini, aku lebih sering mendengar lolongan hewan berkaki empat ketimbang saat kapanpun.
“Sekarang musim kawin.” Katanya santai.
Aku tersenyum. Tak tahu harus menjawab apa.
Walaupun Gurkha selalu beraroma bumbu dapur—ia memiliki selera yang aneh dalam memilih wewangian—ia bisa dengan mudah mengambil simpatiku tak lama setelah pertemuan pertama kami.
Pria ini hidup sendiri, tanpa anak dan istri, hanya alam terkembang dan buku-buku. Ia memiliki kebijaksanaan yang lebih dari cukup untuk memperlakukan hidup dan kehidupan dengan arif.
Gurkha mengajariku bersujud ke Barat, berdoa tanpa berkata-kata, dan membaca lekak-lekuk huruf Arab yang menyenangkan. Ia bercerita tentang hidupnya, tentang keluarganya yang tewas dalam pembantaian, meninggalkannya sendirian tanpa bekal apa-apa untuk mempertahankan diri.
“Kau tahu, walaupun hidup kita seperti ini, kita masih memiliki sesuatu yang berharga untuk dipertahankan.”
“Apa itu, Gurkha?” aku penasaran.
“Islam.” Jawabnya. “Agamamu, dan agamaku.” Ia baru saja menusukku dengan kata-katanya. “Ikutlah denganku, kawan, kita akan berjalan mengarungi luasnya bumi, menemukan cara bagaimana kita akan ke surga.”

Gurkha pernah mengunjungiku suatu hari. Ia berjalan di jalan setapak, terlihat dari teras bambu rumahku. Namun sekonyong-konyong anjing geladak bertaring panjang menghadangnya dalam perjalanan, Gurkha menggiring mereka ke satu sudut, hingga aku tak bisa lagi melihat apa yang sedang terjadi. Saat aku menanyakan padanya, Gurkha bilang ia berhasil mengusir mereka.
Dua hari kemudian, ketika aku hendak menemui Melodi, aku mengambil jalan pintas di antara hutan cengkih yang rindang. Aku tak memperhatikan langkahku karena terlalu tertarik pada berlian biru yang tersembunyi di balik awan, hingga sesuatu yang begitu gelap membuatku terperanjat dan jatuh di tempatku berdiri.
Mendadak aku tak bisa berkata-kata.

Pesta dansa digelar besok sore. Aku sudah meminjam setelah hitam, lengkap dengan dasi kupu-kupu dari Gurkha. Walau aku tak yakin bisa menemani Melodi. Gurkha bilang, terakhirkali ia mengenakan pakaian itu saat ia bekerja di sebuah restoran. Tersenyum pada orang-orang yang kelaparan, menjamu mereka dengan piring-piring perak.
Ada enam peluru dalam revolver Melodi. Aku mengunjungi ‘kawan-lama’ ayahku. Semula aku tak yakin bisa melakukannya. Namun saat aku mengingat rintihan Ibuku, kakakku, dan ayahku di bawah todongan senjata api, aku menarik pelatuk revolver itu tanpa ragu. Menembak mereka satu persatu. Di kepala, di mulut, dan di selangkangan mereka.
Ketika aku berjalan di bawah purnama, revolver Melodi menggantung lemah di tangan kiriku. Aku laksana Ibrahim dalam kitab suci, yang menghancurkan berhala-berhala di sekeliling Ka’bah. Bersimbah darah, diliputi badai bisu, dengan satu peluru yang tersisa di pistolku. Tapi aku mengaku kalah. Semua pria yang kubunuh tak memiliki tanda Iblis di tubuhnya. Simbol yang menghantui mimpi-mimpiku selama ini.
Aku menjawab pertanyaan Gurkha hari itu juga. Bahwa aku akan ikut dengannya dalam pengembaraan mengelilingi Dunia. Ia menungguku dengan kuda bungkuk dan keretanya, di sebuah remang persimpangan tanpa cahaya.
Gurkha memberiku ruang di antara barang-barang kami berdua. Meraih korek api dan lampu badai, menyalakannya tanpa berkata-kata. Ketika ia menggantungkan cahaya itu di tiang bambu, lengan jubahnya merosot perlahan-lahan, menampakkan kilauan merah menyala, Trisula Iblis di atas lengan gemuknya yang berminyak.
Sekali lagi, aku menarik pelatuk revolver Melodi. Jelaslah semuanya sekarang: lolongan anjing geladak yang tak pernah berhenti, dan sesuatu yang kulihat saat aku berjalan menuruni bukit tempo hari: bangkai anjing yang bertumpuk, mati dalam kondisi yang tidak wajar. Sesuatu yang tak mungkin bisa dilakukan seorang manusia dengan dua tangan dan kaki.
“Kau tahu, Jibril,” ia mulai menjalankan keretanya. “kita akan selalu menemukan kebenaran dalam kata-kata mereka yang telah tiada. Sebelum Ibuku meninggal, dia bilang padaku bahwa masa tuaku akan kuhabiskan di atas roda yang bergerak. Kau tahu sendiri itu benar adanya.”
Aku mengangguk samar. Berlagak tenang.
“Nah, aku jadi penasaran. Apa yang Ibumu katakan sebelum ia wafat?” tanya Gurkha.
Aku menarik nafas panjang. Mengeluarkan revolver itu dari dalam kegelapan. “Dia bilang, Iblis akan menemukanku suatu hari. Menyebar teror, ketakutan, dan berita bohong. Tapi aku akan mengalahkannya.
“Membunuhnya dengan kedua tanganku sendiri.”
Mulya: Jumat, 29 Juli 2011
7:05
Asqalani: Minggu, 07 Agustus 2011
01:05

Mulya Abdul Syukur
Bogor, 14 Oktober 1989
Mahasiswa Fakultas Dakwah dan Ilmu komunikasi/Komunikasi UIN SUSKA Riau
bermastautin:Jl Apel, jlr 6, Desa Hangtuah. Kecamatan Perhentian Raja. Kab. Kampar. Riau. 28000.
 

Muhammad Asqalani eNeSTe ( Mae )
Lahir di Huta Paringgonan, 25 Mei ’88, Dalu-dalu_Rokan Hulu
Adalah Mahasiswa Pend. B.Inggris semester 7 Universitas Islam Riau (UIR)
Merupakan Redaktur Sastra tabloid Mahasiswa AKLaMASI 2011-2012
Adalah Peraih juara 1 Penulisan Puisi Remaja Xpresi Riau Pos 2010

4 komentar:

  1. salam ukhuwah, afwan ikutan baca ya, great story.. tersirat, makna kehidupan, pemenang yang berjuang, peran antagonis dan protagonis dlm setiap langkah khdupn. thank you!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Salam Ukhwah..wah syukraon jazilan ukhty atas tandangannya..Salam Takzim kami dari negeri Al-Bratva (persaudaraan: Jhody M. Adrowi & Muhammad Asqalani eNeSTe) Salam Rohmatan lil 'Alamiin..

      Hapus

 
Template Design By:
SkinCorner