Senin, 25 Juni 2012

Shirah: Cerpen Mawaidi D. Mas

Lelaki Pengetuk Pintu

“Ompempa!”
“Ompempa!”
“Ompempa lailaumpempa!”
“Hore! Aku menang!”
Alhamdulillah!” seru Inem. Dalam hatinya, kebahagiaan bagai anak-anak ombak yang menemukan daratan, tak ingin berpisah. Perempuan dari dua anak itu bahagia ketika anak-anaknya bermain dengan ria. Tak ada pertengkaran di antara mereka. Saling kejar-kejaran, pukul-pukulan dengan mainan, itu tak jadi soal bagi anak-anak itu. Walaupun, terkadang harus ada yang kalah di antara salah satunya ketika bermain kuda-kudaan. Beradu kecepatan.
Bulan di atas genting rumah yang menghadap ke jalan itu benjol. Cahayanya memahat pohonan, mematuk batuan. Malam itu, Inem teringat dengan ayah mereka, Muningal. Bayangkan, sewaktu kecil, dahulu, semasih baru tahu arti cinta, Inem bermain onter-onteran dari kerikil pantai bersama Muningal, suaminya itu. Hingga, antara Inem dan Muningal  menjadi sepasang kekasih yang kekal dalam bercinta. Beruntunglah ia, selalu saja merajut kebersamaan.
Sampan yang ditunggangi Muningal sudah berlayar dua minggu yang lalu, mengepakkan layar dan menembangkan saluang. Muningal tidak di rumah. Laut yang mengajaknya untuk memburu ikan. Alhasil, untuk mencari nafkah keluarga yang bertulang ikan itu.
Sebagai seorang istri, Inem kerap kali mendoakan Muningal. Ia yang berada dalam amukan angin, berada dalam doa Inem agar selamat di sana. Doa seorang istri merupakan doa ibu yang kedua, teringat Inem pada wasiat ibunya. “Lindungan Allah tak akan ke mana.” Hati Inem berdesis. Tiba-tiba, gundukan guyur rindu menjalar ke dinding-dinding palung hati Inem; mengenang Muningal. Ya, begitulah kerinduan, selalu paham pada ketiadaan yang semakin ada.
Inem tabah menanam rindu untuk menunggu belaian Muningal, lelaki perkasa, bijaksana dan bertanggung jawab. Kabarnya, dari desas-desus orang yang pulang dari rantauan, sampan Muningal akan pulang sebulan lagi. Inem yakin Muningal mempunyai perasaan yang sama seperti yang ia punya. Inem yakin Muningal akan pulang secepatnya. Karena itu, cinta Inem tak pernah terkoyakkan oleh lirikan lelaki gombal yang sering nongkrong di pasar itu.
Inem bukan Mona, dan tidak mau seperti Mona. Suaminya yang lama berada di Sepudi, dijadikan kesempatan buat Mona mencari lelaki lain. Kata sebagian orang yang menjadi saksi, Mona memang sebelumnya berjanjian dengan Rohim. Di rumah Mona sendiri itulah Rohim pura-pura bertamu. Kejadian aneh tidak bisa disangkal lagi ketika Rohim bermalam di rumah Mona. Semuanya pasti terjadi. Pasti terjadi. Malam terlukai.
Mana pula suaminya tahu. Suaminya sendiri berada di laut seberang. Entah, Mona melakukan itu semua atas dasar kurang puas dari suaminya sendiri atau tidak tahan lama menunggu kepulangannya.
Mona jadi buah bibir masyarakat. Rahasia mereka berdua yang dilakukan dengan Rohim dikira tidak ada yang tahu. Justru Rohim sendiri yang membeberkan ke rekan-rekannya tentang kepuasannya tidur bersama Mona. Duh, Mona bagai Lah sesak alam tempat diam, tak berbumi tempat tegak[1].
 Inem tawakkal kepada yang Allah. Ada yang berlinang di mata Inem. Antara dirinya dan Muningal; sama-sama pasrah, sama-sama saling percaya. Sungguh, Inem tidak ingin berlama-lama jauh dari belaian Muningal. Namun, garis nasib yang harus dijalani Muningal tidak bisa dicegah. Ia harus merantau.
Hari berlalu dijalani dengan harapan demi harapan. Dua minggu cukup lama bagi Inem. Tak ada tempat untuk melabuhkan kerinduan, kecuali bersama anak-anaknya. Bagi penunggu, semenit adalah waktu yang setahun.
***
Guyur  hujan mulai datang di tengah-tengah kerinduan Inem pada Muningal. Pekik petir dan gelegak guntur menjerit di atas kepala. Hujan terus mengalir mengairi perkampungan. Genting beranda rumah bocor. Sebab, hujan begitu amat lebat. Dan palesteran di luar tergenang air di antara kubangan-kubangan.
Kini Inem menyingkap catatan masa lalu. Dulu, sebelum Muningal merantau, dia selalu membenahi genting rumah ketika hendak hujan semakin deras. Agar rumah tak banjir. Usai itu, mereka bersyukur kepada Allah. Tak pernah ada yang mengeluh dengan keadaan serba sederhana itu.
“Orang kaya bukan dengan harta, tapi dengan hati dan cinta.Muningal, yang rajin mengikuti ajian setiap pagi di masjid, berbisik di telinga Inem suatu waktu. Begitulah suami, bersama istri ada untuk saling melengkapi. Inem tersenyum murah kepada Muningal. Sebagai imbalannya  Inem menerima kecup bibir Muningal menyinggahi pipinya. Inem tersipu.
Kenangan-kenangan dari tumpukan masa lalu itu segera ia tepis. Inem tak ingin larut dalam kesedihan hanya karena beban pikiran terus mengingat Muningal. Maka ia menjalani saja semuanya. Merasai sunyi. Termasuk kesendirian yang semakin lajang itu.
Hujan dari siang tadi itu masih menyisakan gerimis panjang hingga malam.  Inem beriman. Allah  menurunkan hujan untuk menabur rahmat  ke bumi. Tiada sesuatu yang diciptakan-Nya hampa tujuan. Inem pasrah pada Yang Tunggal.
“Ibu, lampunya kok mati?
Gigik kan harus mengerjakan PR!”.
“Padam ya, Bu?
Gigik, anak yang paling bungsu melihat mata ibunya yang mengandung jawaban. Sementara Ipung duduk di kursi kayu dengan mainan yang ditimang-timang oleh tangannya.
Plaar!
Durrg... rrg... dur!
Inem terhenyak ketika jeritan guntur menusuk telingnya. Anaknya ikut terhenyak lalu berhambur ke dadanya. Muningal kembali terbayang dalam bola mata Inem yang legam. Buliran air di mata  Inem remang-remang buncah. Malam selaksa petir dan guntur tak henti- henti berteriak. Berkali-kali Inem membayangkan, Muningal di tengah laut sana dalam kondisi kedinginan. Belum lagi ombak yang mengulung-gulung dan petir di tengah laut menyibak lautan hingga terpecah belah. Tidak! Lindungilah dia, Ya Allah! Inem resah. Dalam hatinya berbalut kalut.
 Malam merambat seperti ular[2]. Usai shalat isya’, bersama anak-anak, Inem langsung menarik selimut. Anak-anak Inem tidur dalam satu ranjang. Sedangkan Inem tidur di ranjang sebelah kirinya. Malam itu, Inem tidak punya pilihan untuk meratapi nasib kesendiriannya. Inem ingin tidur. Apalagi bila lampu padam. Dia merasa harus mengawali tidurnya. Hanya teplok yang berpendar-pendar dengan cahaya mungilnya. Berkilauan. Ditambah asap hitam di ujung api mengepul meliar ke segala penjuru arah. Bak tarian penari dalam ludruk.
 Tanpa disadari sebelum Inem masuk ke dalam mimpi tidur yang amat lelap, tiba-tiba ada yang mengetuk pintu. Inem kaget setelah sadar. Sepasang bola mata Inem  diarahkan ke pintu seraya bangkit dari tidur. Malam-malam begini siapa ya? Inem bingung. Dalam otaknya terus menduga-duga. Atau Uum tetangga sebelah mau pinjam payung?
Ada yang tebersit di benak Inem. Seperti kata ibunya, Malam hari, kalau suaminya tidak ada, jangan membukakan pintu. Apa kau mau suamimu terkhianati?  Ya, Inem ingat betul kata-kata itu. Ibunya mempunyai budi yang luhur. Inem kukuh dalam pendirian. Dibiarkannya suara pintu di luar terus diketuk. Sesekali  Inem resah. Pintu itu terus diketuk semakin keras.
Tuk tuk tuk
Tuk tuk tuk
“Siapa?” tanya Inem. Masih belum beranjak di atas tempat tidurnya.
Aku!”
Suara laki-laki. O, tidak! Pikir Inem.
“Siapa?” kembali.
“Ini Aku!” katanya lagi dengan nada datar.
“Siapa? Kang Muningal?
“Ini Aku!”
Inem penasaran. Ia menduga-duga lelaki pengetuk pintu itu adalah Muningal. Namun, sejauh ini suami yang sangat dikenalnya itu belum pernah tidak memberi kabar jika hendak pulang. Atau biasanya kalau Muningal pulang di waktu malam, dia akan tidur dulu di rumah Yusuf, sang juragan pemilik sampan.
Tuk tuk tuk.
Suara pintu.
Apa kamu Kang Muningal?” tanya Inem. Begitu lantang. Inem tidak berpikir untuk melihatnya dari balik kelambu jendela. Lelaki itu semakin keras memukul tangannya ke daun pintu. Inem tidak merespon. Kalau disanggah terus, orang itu makin gila. Ya, dia akan terus seperti itu mengetuk pintu.
Pada hatinya yang kelam, Inem memanjatkan doa kepada Allah, meminta ketenangan, meminta petunjuk dan harapan.
Selang beberapa saat. Mungkin orang itu capek karena tidak dibukakan pintu. Tak ada lagi suara pintu diketuk. Hanya suara rintik hujan yang berkincak-kincak. Kini Inem yang mulai resah. Kepalanya dijejali beragam tanya yang terus bertumpuk. Inem gundah. Lelaki itu tidak mengetuk pintu.
Dalam remang Inem memberanikan diri mendekati pintu. Inem melangkah pelan. Memegang kunci. Lalu diputar buah kunci di lubang ke arah kiri. Plekk! Pintu dibuka sedikit. Tampak sepi. Inem makin penasaran. Pintu dibuka lagi sejengkal. Tak ada tanda-tanda. Orang  itu lenyap. Pintu dibiarkan menganga. Tidak menyerah, Inem keluar setengah badan. Benar, orang itu lenyap sudah.
Topi agak kusam berwarna biru tergeletak di lantai. Inem sedikit terkaget. Mungkin milik lelaki pengetuk pintu tadi, pikirnya. Entahlah, Inem tidak terlalu memikirkan soal topi di tangannya itu. Hujan yang tinggal gerimis pelan-pelan mereda. Sepasang mata Inem memantau ke arah pematang. Tak ada tanda-tanda perihal orang tadi.
Inem kembali masuk ke dalam rumah dan membawa topi itu.
***
Kini sudah dua hari berlalu dari kedatangan Muningal. Rindu Inem yang kian kental itu jadi pelukan. Itulah istri, Inem menyambutnya dengan mekar bibirnya yang indah bagai nganga kerang. Begitu pula anak-anak itu, mereka berhambur ke dada ayahnya. Muningal membawa oleh-oleh dari Sepudi, keripik tahu, dan jemur bulung—dari tempat ia merantau.
Muningal menceritakan kejadian yang dialaminya selama di laut. Kata Muningal kepada istrinya, teman serantaunya meninggal dunia. Mat Nur namanya, warga Juru Gentong. Ia tenggelam waktu imbas petir menghantam sampannya. Nasib nian Mat Nur. Seandainya saja ia bisa berenang, mungkin saja Allah melindungi dirinya. Begitulah modal seorang nelayan. Setidaknya bisa menjaga diri sendiri; dengan berenang.
Keluarga sederhana itu melangsungkan hidup yang amat bahagia, bagai kisah Rama dengan Shinta, bagai kisah Arjuna dengan Subadra, Muningal hidup bahagia dengan Inem.
Tak diduga, suatu ketika Muningal menemukan sebuah topi biru. Ya, betapa terkejutnya ia. Topi itu adalah milik lelaki pengutuk pintu tempo hari.
Milik siapa ini, Sayang?” tanya Muningal.
“Orang  gila, Kang!” jawab Inem sekenanya.
“Orang gila masuk ke rumah ini? Muningal heran.
“Bukan, selasa malam lalu ada orang mengetuk pintu waktu hujan deras. Orang itu terus...”
“Terus kamu bukakan pintu. Malam-malam membawa orang lain ke rumah ini tanpa sepengetahuanku?” Muningal memotong perkataan Inem. Muka Muningal tampak marah.
Aku kira kamu istriku yang baik. Namun, bila kamu sudah begini caranya, apa arti maharku bagi dirimu?
“Kang, dengar dulu penjelasanku. Inem tidak membukakan pintu pada orang itu. Inem mengambil topi ini di luar, ketika orang itu pergi.  Dan, itu tanpa kubukakan pintu.” Suara Inem terdengar terbata-bata. Isak tangis Inem mulai terdengar serupa sisa-sisa guntur yang terus bergetar. Inem menangis.
“Ini tidak seperti yang Akang bayangkan. Percaya, Kang! Inem tetap sayang sama Akang. Ini Inem, tak akan berpaling kepada orang lain,” tambahnya. Dadanya tidak kuat.
Selang beberapa saat, sambil deru tangis anak-anak mereka menyusul yang berdiri di depan pintu, tampaknya kebencian Muningal mulai susut. Dia menatap Inem. Begitu dalam. Amat dalam. Muningal mencari-cari kedalaman mata Inem yang sendu.
“Apakah aku percaya dengan semua ini?” Suaranya lirih di telinga Inem. Suara Muningal yang khas merdu. Muningal memegang sepotong wajah Inem yang masih sembab dengan air mata. Mata Inem ditatap tajam yang karang. Inem tidak menduga Muningal melakukan itu. Sebab, baru saja ribut soal topi biru milik lelaki tempo hari itu.
Dalam kekalutan keduanya, di mana anak-anak mereka hanya menatap nanar kedua orang tuanya, Muningal membuka sebuah kardus berisi beberapa macam topi biru. Sontak saja Inem terkejut. Matanya yang indah namun sendu itu mencari sesuatu di mata Muningal.
 “Topi itu milikku. Malam itu adalah aku, Sayang.”
Guluk-Guluk-Jogjakarta, 2012

Biodata:
Mawaidi D. Mas, Mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, FBS-UNY. Sekarang giat sebagai penulis Aksara dan gabung dalam Komunitas Rabo Sore Yogyakarta.




[1] Mendapat malu besar, sehingga tak ada tempat untuk menyembunyikan muka
[2] Judul cerpen Triyanto Triwikrimo “Sunyi Merambat Seperti Ular”. Sedangkan di sini, kata “sunyi” diubah menjadi “malam”.

3 komentar:

  1. Aku mempunyai mimpi untuk dapat seperti ini, hanya saja kealpha-an berpihak pada perempuan sepertiku demi menggapainya, bagaimana bisa sedang yang ku tahu teras rumah itu indah.

    BalasHapus
  2. Salam to all...
    semangattt...

    BalasHapus

 
Template Design By:
SkinCorner